Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #8

8

Suasana kantor hari ini terasa berbeda. Entah karena proyek besar itu, atau karena pikiranku sendiri yang penuh dengan perdebatan antara logika dan perasaan.

Aku duduk menatap laptopku, mencoba menyelesaikan daftar tugas yang terus bertambah. Tapi pikiranku tak bisa berhenti memutar kejadian pagi tadi—tatapan Mateo, caranya berbicara, ekspresi wajahnya saat Rani mengumumkan penggabungan tim. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat dadaku terasa sesak dan hangat sekaligus.

"Amelia?" Suara itu membuatku tersentak.

Aku mendongak dan mendapati Mateo berdiri di samping mejaku, membawa berkas di tangannya.

"Bisa kita diskusi soal pembagian tugas proyek?" tanyanya, terdengar biasa saja, tapi ada getaran kecil dalam suaranya yang hanya bisa kutangkap karena terlalu sering memperhatikannya akhir-akhir ini.

Aku mengangguk cepat, berusaha bersikap wajar.

"Tentu. Duduk saja."

Dia menarik kursi di sampingku dan duduk, menaruh berkas-berkas di antara kami. Saat dia mulai berbicara tentang strategi pengerjaan proyek, aku mencoba memusatkan perhatian. Tapi jarak kami terlalu dekat, dan setiap gerakan kecilnya—dari caranya membalik halaman sampai hembusan napasnya—terlalu mudah untuk kusadari.

"Aku pikir," katanya, menunjuk diagram pembagian tim di kertas, "kamu cocok memimpin bagian konten dan presentasi. Kamu punya ide-ide kreatif, dan..." Dia berhenti sejenak, menatapku. "Kamu juga tahu bagaimana cara membuat orang tertarik."

Aku merasakan pipiku memanas. Entah itu pujian murni atau ada maksud lain di balik kata-katanya.

Aku membuang pandang, pura-pura membaca dokumen. "Kalau itu yang kamu pikirkan, aku siap."

Dia tersenyum kecil. "Bagus. Aku akan ambil alih bagian analisis dan report. Kita tetap akan sering koordinasi."

Kata-katanya membuat hatiku sedikit berdebar. Koordinasi berarti lebih banyak waktu bersamanya. Lebih banyak kesempatan untuk jatuh lebih dalam.

Kami menghabiskan hampir satu jam berdiskusi, dan seiring waktu berjalan, suasana di antara kami terasa semakin santai. Ada tawa kecil, candaan ringan, dan sesekali tatapan yang bertahan sedikit lebih lama daripada seharusnya.

Ketika akhirnya diskusi kami selesai, Mateo merapikan berkas-berkas itu dengan rapi.

"Kalau ada yang butuh dibicarakan lagi, langsung cari aku ya," katanya sambil berdiri.

Aku mengangguk, menahan senyum. "Iya."

Dia berjalan pergi, meninggalkan aroma kopi dan sabun yang samar. Aku bersandar di kursi, menghela napas panjang.

Ini gila. Aku harus fokus. Aku tidak boleh membiarkan perasaan ini mengacaukan semua yang sudah kubangun.

Namun sebelum aku sempat melanjutkan pekerjaanku, notifikasi di ponselku berbunyi.

Dari: Mateo

Jangan terlalu stres, Amelia. Kamu hebat. Kita pasti bisa.

Aku menatap pesan itu lama sekali. Hanya satu pesan sederhana, tapi cukup membuat hatiku seolah berlari maraton.

Aku tahu aku berada di persimpangan: menjaga jarak demi profesionalisme, atau mengambil risiko untuk sesuatu yang bisa saja lebih berarti.

Antara logika dan hati, mana yang akan aku pilih?

Aku menggenggam ponselku erat-erat, merasakan kegamangan itu memenuhi dadaku.

Mungkin jawabannya akan datang... pada waktunya.

Pagi ini aku datang lebih awal ke kantor. Aku butuh waktu untuk menyusun pikiranku sebelum hari yang kemungkinan besar akan dipenuhi rapat dan koordinasi proyek besar itu.

Saat aku duduk di mejaku, meletakkan secangkir kopi panas, aku sempat mengira aku akan punya waktu untuk sendiri. Tapi nyatanya, hanya berselang beberapa menit, langkah kaki yang sudah kukenal menghampiri.

"Rajin banget," komentar Mateo sambil meletakkan tasnya di meja sebelah. "Belum jam mulai kerja, kamu udah nongkrong di sini."

Aku terkekeh kecil. "Biasa, butuh persiapan mental buat hadapi hari panjang."

Dia tersenyum, mengambil kursinya, lalu—tanpa diminta—mendorong meja kami agar sedikit lebih berdekatan.

"Aku butuh partner yang kuat hari ini. Jangan kabur, ya."

Aku mengangkat alis, pura-pura heran. "Emangnya aku pernah kabur?"

Dia hanya menatapku sambil tersenyum, senyum yang sangat... mengganggu konsentrasiku. Ada sesuatu dalam caranya melihatku akhir-akhir ini yang membuat semua batas antara 'rekan kerja' dan 'lebih dari itu' terasa semakin kabur.

Kami menghabiskan satu jam pertama hari itu dengan membahas laporan, membuat daftar tugas, dan menyiapkan draft presentasi untuk atasan. Mateo sangat fokus—tapi juga tidak berhenti menyisipkan komentar kecil yang membuatku tersenyum atau menggelengkan kepala.

Seperti saat dia tiba-tiba menunjuk daftar tugas dan berkata, "Bagian ini kayaknya lebih cocok kamu yang kerjain. Aku kan cuma jagoan tampang, bukan otak."

Aku tertawa, menutup mulutku dengan tangan. "Sombongnya."

"Fakta," katanya, menyengir.

Walaupun percakapan kami santai, aku tahu betul di dalam hati ada sesuatu yang berubah. Aku tak bisa mengabaikan caranya memperhatikanku, atau bagaimana dia kadang mencari-cari alasan untuk tetap di dekatku, bahkan untuk hal-hal sepele.

Saat jam istirahat tiba, aku hampir saja pergi ke pantry sendirian, ketika Mateo tiba-tiba berdiri.

Lihat selengkapnya