Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #9

9

Sepulang dari kantor malam itu, aku duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil mengingat-ingat kejadian di pantry tadi.

Ucapan Mateo, tatapannya, bahkan jarak di antara kami yang begitu dekat... semua berputar-putar di kepalaku.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.

Aku sudah lama bekerja di dunia profesional, tapi tidak pernah ada rekan kerja yang membuatku seribet ini dengan perasaan sendiri.

'Nggak boleh baper,' aku memperingatkan diri sendiri.

Tapi, kata-kata itu terasa kosong. Karena kenyataannya, aku sudah baper.

Ponselku tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk dari Mateo.

Mateo: Sampai rumah dengan selamat, kan?

Aku tersenyum. Jemariku langsung membalas.

Amelia: Sudah. Kamu juga ya.

Tak butuh waktu lama, ponselku berbunyi lagi.

Mateo: Iya. Besok... ada yang mau aku omongin, boleh ya?

Hatiku langsung berdegup kencang.

Amelia: Boleh. Tentang kerjaan?

Jawaban darinya muncul setelah beberapa detik.

Mateo: Kerjaan... dan bukan kerjaan.

Aku menatap layar ponsel lama sekali. Mau membalas apa coba?

Akhirnya aku cuma mengirimkan emoji jempol, lalu membaringkan diri dan menutupi wajah dengan bantal.

Besok?

Besok apa yang akan terjadi?

Keesokan paginya, aku berusaha tampil biasa saja. Memakai kemeja putih simpel, celana bahan hitam, dan sedikit lip tint biar nggak kelihatan pucat.

Tidak ada alasan khusus... kecuali karena aku akan ketemu Mateo.

"Amel! Mateo udah nunggu di meeting room kecil," kata Dina sambil lewat di belakangku.

Aku mengangguk, jantung langsung berdebar tak karuan.

Kenapa dia harus nunggu di meeting room kecil? Kenapa bukan di meja kerjaku aja kayak biasa?

Dengan napas dalam-dalam, aku melangkah ke meeting room.

Mateo sudah di sana, berdiri sambil menatap ke arah jendela. Cahaya pagi membuat siluetnya terlihat... menenangkan.

"Aku masuk ya," kataku pelan.

Dia menoleh dan tersenyum. Senyum itu—senyum yang seharusnya dilarang karena terlalu menenangkan.

"Amel..."

Dia memanggil namaku, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.

Aku duduk di kursi terdekat. "Ada apa?"

Dia mendekat, lalu duduk di depanku, menatapku serius.

"Aku tahu ini mungkin terlalu cepat. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak ngerasa apa-apa."

Aku membeku.

Mateo menunduk sebentar, lalu mengangkat pandangannya lagi.

"Aku suka kamu, Amel."

Dunia seperti berhenti berputar sejenak.

Aku mengerjap, mencoba mencerna kalimatnya.

Dia tersenyum tipis, seolah mengerti kebingunganku. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tahu. Aku beneran serius."

Aku membuka mulut, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.

Mateo berdiri, merapikan lengan kemejanya.

"Aku tunggu, kapan pun kamu siap," katanya sebelum berjalan keluar, meninggalkanku yang masih membatu di kursi.

Aku menatap pintu yang kini tertutup.

Mateo baru saja menyatakan perasaan... di tengah persaingan kantor kami yang ketat... di tengah semua deadline dan tekanan.

Dan bagian tergila dari semua ini adalah—

Aku mungkin merasakan hal yang sama.

Aku masih duduk di ruang meeting kecil itu, bahkan setelah Mateo keluar.

Kepalaku penuh sesak.

Lihat selengkapnya