Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #10

10

Sore itu, aku kembali ke meja kerjaku setelah pertemuan dengan Mateo, dan rasanya seluruh tubuhku lelah. Bukan karena pekerjaan, tapi karena apa yang terjadi di ruang rapat tadi. Aku masih memikirkan kata-kata Mateo, bagaimana dia mengungkapkan perasaannya dengan begitu langsung dan jujur. Dan aku? Aku hanya bisa diam, terjebak dalam kebingungan dan rasa takut.

Pekerjaan di depan mataku tidak tampak begitu penting lagi. Aku hanya bisa menatap layar komputer dengan pandangan kosong, seolah mencoba mengabaikan suara hatiku yang terus berbisik.

"Ada apa, Amel?" suara riski, teman sekantorku, memecah keheningan. Dia berdiri di samping meja kerjaku, melihatku dengan tatapan heran.

Aku mengangkat wajah dan tersenyum tipis. "Oh, nggak apa-apa, Ris. Lagi pusing aja. Banyak yang harus dikerjain."

Riski mengangkat alis, tidak terlalu yakin dengan jawabanku. "Maksudku, kamu tadi... kayak nggak fokus banget. Ada masalah?"

Aku menghela napas, memutuskan untuk jujur meski sedikit. "Mungkin. Ada yang bikin pusing aja. Sebenernya bukan masalah, lebih ke... perasaan."

Riski menyeringai. "Perasaan? Kenapa nggak ada yang bilang, kalau kamu lagi galau, kita bisa ngobrol."

Aku tertawa kecil, meski rasanya lebih canggung dari biasanya. "Maksudnya, galau soal kerjaan sih. Ada banyak deadline, dan sekarang ditambah masalah pribadi yang... agak ribet."

Riski menatapku tajam, sedikit tertarik. "Masalah pribadi? Amel, ngomong deh. Kalau ada yang ngganggu, kita bisa ngobrol. Terutama kalau itu soal... cowok, ya?"

Aku terdiam, menarik napas dalam-dalam. Aku tahu Riski hanya bercanda, tapi entah kenapa, aku merasa terjebak dalam perasaan yang terlalu besar untuk kutanggung sendirian.

"Riski, ini soal Mateo," aku akhirnya berkata, dengan suara yang lebih rendah. "Dia bilang dia suka sama aku."

Riski terdiam sejenak, mencerna kata-kataku. Lalu dia tersenyum lebar. "Oh, itu... Kenapa, sih? Kamu nggak senang?"

Aku menggelengkan kepala. "Aku nggak tahu. Aku... bingung, Ris. Kita rekan kerja, dan aku nggak mau perasaan ini merusak semuanya. Kita sudah begitu sering kerja bareng, dan sekarang semua terasa rumit."

Riski memiringkan kepala, seolah merenung. "Hmm... kamu tahu apa yang aku pikirkan, kan? Mungkin itu bukan masalah. Bukannya lebih baik kalau kalian jujur satu sama lain? Kalau kamu cuma diam, masalah ini bisa jadi lebih besar nanti."

Aku menunduk, merenung sejenak. "Aku takut, Ris. Takut kalau aku nggak bisa memisahkan perasaan pribadi dengan pekerjaan. Kalau ada yang salah, semuanya bisa hancur."

Riski menepuk bahuku dengan lembut. "Jangan terlalu dipikirin, Amel. Kalau kamu merasa ada perasaan di situ, mungkin itu harus dicoba. Tapi yang penting, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari. Kalau kamu terus menerus ragu, itu malah akan lebih menyakitkan."

Aku terdiam mendengarkan kata-kata Riski. Ada benarnya, tapi aku masih merasa seperti terjebak dalam dilema. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku membiarkan perasaan ini berkembang, atau tetap menjaga jarak untuk menghindari hal-hal yang lebih rumit?

Seiring waktu berlalu, aku merasa semakin bingung. Meskipun aku bisa mendengar kata-kata bijak dari teman-temanku, pada akhirnya, hanya aku yang bisa membuat keputusan itu.

Setelah beberapa jam bekerja tanpa hasil yang signifikan, aku memutuskan untuk berjalan keluar dan menghirup udara segar. Aku butuh waktu untuk berpikir, meskipun sepertinya aku semakin bingung.

Di luar, angin malam yang sejuk mengelus wajahku. Aku berjalan pelan, mencoba menenangkan pikiran yang terus berputar. Tetapi tak lama kemudian, aku melihat sosok Mateo berdiri di luar kantor, menatap langit yang sudah mulai gelap.

Dia menoleh begitu mendengar langkahku, dan senyumannya langsung muncul, meskipun ada ketegangan yang tetap mengitari kita.

"Amel," suaranya lembut. "Aku nggak mau bikin kamu merasa tertekan, tapi... aku ingin kamu tahu, aku nggak akan mundur. Aku nggak bisa."

Aku menatapnya, perasaan campur aduk menguasai. "Mateo, kita harus fokus pada pekerjaan dulu. Ini nggak mudah buatku."

"Aku tahu," jawabnya, suaranya penuh pengertian. "Aku nggak mau terburu-buru. Aku cuma... ingin kamu tahu kalau aku ada di sini."

Aku terdiam sejenak, merasa ada ketulusan dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Sesuatu dalam hatiku terasa tergerak, dan aku tahu aku mulai merasa lebih dari sekadar tertarik pada Mateo. Tapi aku masih takut.

"Aku butuh waktu, Mateo," kataku pelan.

Mateo mengangguk, dan senyumannya tidak pernah surut. "Aku akan menunggu, Amel."

Aku menarik napas dalam-dalam. Di satu sisi, aku ingin menjawabnya, ingin memberi kesempatan pada perasaan ini untuk tumbuh. Tapi di sisi lain, aku juga tahu bahwa aku tidak bisa melupakan pekerjaan dan segala tekanan yang datang bersamanya.

Lihat selengkapnya