Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #11

11

Hari-hari setelah percakapan terakhir itu terasa berbeda. Tidak ada lagi beban yang mengganjal, tidak ada lagi kecemasan yang menggelayuti setiap langkahku. Kami berdua, Mateo dan aku, telah membuat keputusan untuk tidak terburu-buru dan memberi ruang bagi perasaan yang sedang tumbuh.

Di kantor, semuanya berjalan seperti biasa. Pekerjaan tetap menjadi prioritas utama, dan aku merasa lebih mudah untuk fokus pada tugas-tugas yang ada. Namun, ada perasaan ringan yang muncul setiap kali aku bertemu Mateo. Ada komunikasi yang lebih terbuka antara kami, meskipun masih dengan batasan yang jelas.

Tapi meskipun hubungan kami semakin baik, tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa ketegangan yang tetap ada. Ketegangan itu muncul bukan karena ketidakpastian, tetapi karena perasaan cemburu yang kadang-kadang datang tanpa diundang.

Suatu sore, aku sedang bekerja di meja kerjaku ketika seorang rekan kerja pria, Rian, datang menghampiriku. Dia adalah salah satu anggota tim yang baru bergabung, dan meskipun kami belum terlalu dekat, dia sering mengajakku berbicara tentang pekerjaan atau bahkan sekadar bercanda.

"Amel, ada yang ingin aku bicarakan tentang laporan terakhir," katanya sambil berdiri di samping meja.

Aku mengangguk, siap untuk mendengarkan apa yang dia katakan. Kami mulai berbicara tentang pekerjaan, tetapi saat itu, aku merasakan pandangan seseorang yang mengarah pada kami. Aku menoleh dan melihat Mateo di ujung ruangan, matanya tertuju pada kami dengan ekspresi yang sulit kubaca.

Aku merasakan jantungku sedikit berdebar. Apa yang sedang dia pikirkan? Aku tahu hubungan kami belum terbuka sepenuhnya di kantor, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa canggung saat melihat Mateo memperhatikan percakapan kami.

Rian, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan yang tiba-tiba muncul, melanjutkan obrolan dengan santai. Namun, aku merasa tidak nyaman. Apa ini hanya perasaanku saja, atau ada sesuatu yang lebih?

Setelah beberapa menit, Rian akhirnya berpamitan dan pergi, meninggalkan aku sendirian dengan pikiran yang bergejolak. Aku berusaha untuk kembali fokus, tetapi perasaan cemburu itu terasa nyata. Entah kenapa, aku merasa Mateo mungkin merasa tidak senang melihatku berbicara dengan Rian. Mungkin aku berlebihan, tetapi perasaan itu tetap ada.

Tak lama setelah itu, Mateo mendekat ke meja kerjaku. Dia berdiri di sampingku, dengan wajah yang tidak bisa kubaca. Aku menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang ada dalam pikirannya.

"Ada yang perlu dibicarakan?" tanyaku, berusaha menjaga nada suara tetap profesional meskipun ada kegugupan di dadaku.

Dia mengangguk perlahan. "Tadi... saat kamu ngobrol dengan Rian, aku rasa aku sedikit... merasa aneh," ujarnya dengan suara rendah.

Aku terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang dia maksud. "Maksudmu?" tanyaku, meski sebenarnya aku sudah bisa menebak.

"Perasaan cemburu," jawabnya dengan jujur. "Aku tahu itu tidak rasional, Amel. Kita belum mengatakannya secara resmi, tapi aku... aku merasa sedikit cemas kalau ada orang lain yang terlalu dekat denganmu."

Hatiku berdebar. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Pada satu sisi, aku merasa lega karena dia bisa terbuka tentang perasaannya. Namun di sisi lain, aku juga merasa terkejut. Mateo yang biasanya begitu tenang ternyata bisa merasa seperti itu.

"Aku tidak tahu harus bagaimana, Mateo," kataku dengan suara pelan. "Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman, tapi aku juga tidak bisa mengatur bagaimana orang lain bertindak."

Mateo menarik napas panjang. "Aku tahu. Aku hanya... aku hanya ingin kamu tahu kalau aku menghargai hubungan kita. Apapun itu. Aku tidak ingin ada yang merusaknya."

Aku menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang begitu tulus dalam kata-katanya, dan aku tahu bahwa dia benar-benar peduli. Meskipun kami masih berada di tengah-tengah ketidakpastian, ada satu hal yang pasti: kami berdua saling menghargai.

"Jangan khawatir, Mateo," jawabku dengan lembut. "Aku juga menghargai hubungan kita. Aku akan menjaga batasan itu, dan kita akan melalui ini bersama."

Dia tersenyum tipis, dan aku bisa melihat sedikit ketegangan di wajahnya mulai mereda. "Terima kasih, Amel. Aku hanya tidak ingin membuatnya lebih rumit."

Aku mengangguk. "Kita akan baik-baik saja."

Ketegangan itu akhirnya menghilang begitu saja. Kami berdua tahu bahwa perasaan cemburu itu hanyalah bagian dari proses, bagian dari rasa yang mulai berkembang di antara kami. Kami masih memiliki banyak jalan yang harus dilalui, tetapi setidaknya kami sudah bisa menghadapinya bersama.

Minggu-minggu setelah percakapan cemburu itu berjalan dengan penuh pertimbangan. Mateo dan aku, meskipun kami belum sepenuhnya terbuka tentang perasaan kami di depan banyak orang, mulai merasakan kenyamanan dalam kebersamaan kami. Kami lebih sering berbicara satu sama lain di luar jam kantor, berbagi cerita ringan, atau sekadar menikmati waktu bersama tanpa tekanan.

Namun, meskipun suasana semakin santai, ada hal yang masih terus mengganggu pikiranku. Ketika kami berada di kantor, meskipun kami berdua sudah berusaha profesional, kadang-kadang aku merasa seperti ada dinding yang memisahkan kami—dinding yang dibuat oleh status profesional kami dan ketakutan bahwa orang lain akan mulai memperhatikan dinamika kami.

Pada suatu pagi, saat aku sedang duduk di meja kerja, seseorang mengetuk pintu. Aku mengangkat kepala dan melihat Mateo berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit kubaca.

"Ada apa, Mateo?" tanyaku, agak terkejut melihatnya datang begitu pagi.

Dia masuk dan menutup pintu perlahan, kemudian berjalan menuju mejaku. "Amel, aku pikir kita perlu bicara tentang sesuatu," katanya, suaranya terdengar serius.

Lihat selengkapnya