Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #12

12

Keesokan harinya, aku dan Mateo kembali ke rutinitas kantor, namun ada perasaan baru yang mengisi udara di antara kami. Tidak ada yang berubah secara drastis, tetapi aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda, seolah ada ketegangan yang tidak terucapkan. Meski sudah memberi tahu atasan, tidak mudah bagi kami untuk menanggalkan kekhawatiran akan pandangan rekan-rekan kerja kami.

Aku duduk di mejaku, mengetik email kepada klien dengan fokus, tetapi di dalam pikiranku, bayangan Mateo selalu hadir. Setiap kali aku menatap layar komputer, aku merasa seolah ada semacam koneksi yang tak terucapkan di antara kami. Kami bekerja berdampingan, namun ada kedekatan yang sulit dijelaskan, sebuah ikatan yang lebih kuat dari sekadar rekan kerja.

Sementara aku terjebak dalam pikiranku sendiri, tiba-tiba ada pesan dari Mateo yang muncul di layar ponselku.

"Kamu sudah siap menghadapi hari ini?"

Aku tersenyum membaca pesan itu, merasa sedikit lebih tenang. Sepertinya, kami berdua sedang berusaha mencari kenyamanan setelah memutuskan untuk membuka diri satu sama lain.

"Cemas sedikit, tapi aku akan baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"

"Sedikit gugup, tapi kita akan hadapi bersama."

Pesan itu memberikan dorongan semangat, meskipun aku tahu bahwa perjalanan kami tidak akan mudah. Memang, melangkah terbuka adalah keputusan yang tepat, tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa semuanya akan berjalan mulus. Kami masih harus menghadapi orang-orang di sekitar kami, yang mungkin memiliki pandangan berbeda.

Aku melanjutkan pekerjaanku, tetapi otakku terus menerus memikirkan percakapan yang terjadi semalam. Aku merasa sedikit cemas tentang reaksi rekan-rekan kerja lainnya. Tidak ada yang tahu sejauh mana mereka akan menerima hubungan kami, dan itu sedikit menggangguku. Bagaimana jika ada yang merasa tidak nyaman dengan situasi ini? Bagaimana jika mereka mulai memperlakukan kami dengan cara yang berbeda?

Mateo, di sisi lain, sepertinya lebih percaya diri. Aku bisa melihatnya berjalan di sekitar kantor dengan wajah serius, berbicara dengan rekan-rekannya, seolah tidak ada yang berubah. Dia punya cara untuk menenangkan diriku dengan hanya keberadaannya, dan aku merasa lebih kuat saat bersamanya.

Namun, itu tidak berarti semua orang di kantor merasa nyaman. Sejak kami membuka hubungan kami kepada atasan, ada bisik-bisik yang mulai terdengar di sekitar ruang kerja. Beberapa orang terlihat penasaran, sementara yang lain tampak sedikit bingung. Aku bisa merasakan pandangan mereka sesekali, tapi aku mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaanku. Ini adalah saat-saat di mana aku harus mengingatkan diriku sendiri bahwa aku tidak bisa membiarkan pandangan orang lain mengubah cara aku bekerja.

Mateo berhenti di meja kerjaku saat aku sedang meninjau laporan yang baru saja diterima. "Bagaimana pagi ini?" tanyanya dengan nada ringan.

Aku meliriknya sekilas. "Aman. Sejauh ini tidak ada yang aneh."

Dia tersenyum, tetapi matanya menunjukkan sedikit kecemasan. "Aku tahu ini mungkin tidak mudah. Tapi kita akan baik-baik saja."

Aku mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan kata-katanya. "Iya, aku tahu. Kita harus tetap fokus."

Kami berdua kembali ke pekerjaan masing-masing, tetapi ada sesuatu yang berubah di dalam hati kami. Kami sudah melewati banyak hal bersama, tetapi ini adalah tantangan yang lebih besar. Menghadapi dunia luar yang mungkin tidak sepenuhnya mengerti keputusan kami.

Hari itu berlalu begitu saja dengan keheningan yang terkadang terasa mencekam. Namun, kami berhasil melewati setiap rapat dan tugas yang diberikan tanpa ada masalah besar. Ada rasa lega yang samar-samar ketika jam kerja berakhir, tetapi kami masih memiliki perjalanan panjang di depan.

Ketika aku berjalan keluar dari kantor, aku merasakan tangan Mateo yang menyentuh punggung tanganku, memberi tanda bahwa dia ada di sampingku. Aku menoleh, dan dia tersenyum kepadaku. Kami tidak perlu banyak kata. Kami tahu bahwa meskipun dunia luar mungkin akan menguji kami, kami masih memiliki satu sama lain.

"Besok akan lebih baik," kata Mateo, seolah membacakan pikiranku.

Aku tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan. "Aku harap begitu."

Kami melangkah pergi, berdua, menuju perjalanan yang masih panjang. Mungkin kami tidak tahu apa yang akan datang, tetapi satu hal yang pasti, kami akan menghadapi semuanya bersama.

Hari-hari berlalu dengan lambat, dan meskipun kami berdua mencoba menjalani semuanya dengan baik, ada perasaan yang terus menggelayuti pikiranku. Kami berusaha untuk tidak terlalu memikirkan pandangan orang lain, tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Ada saat-saat di mana aku merasakan ketegangan di udara, terutama saat kami berada di ruang rapat bersama tim.

Aku melihat para rekan kerja kami lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan kami berdua. Beberapa dari mereka terlihat lebih suka menjaga jarak, seolah khawatir jika mereka terlalu dekat dengan kami, mereka akan dianggap terlibat dalam hubungan yang tidak seharusnya ada di lingkungan profesional. Sementara itu, beberapa rekan kerja lainnya tampaknya ingin mencari tahu lebih banyak, bertanya dengan lebih cermat tentang bagaimana kami bisa bekerja bersama tanpa melibatkan perasaan pribadi.

Aku tidak bisa menyalahkan mereka, tapi tetap saja, rasa cemas itu datang setiap kali aku harus berada di ruang yang penuh dengan orang-orang yang tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi di antara aku dan Mateo.

Di satu sisi, Mateo tampaknya lebih santai, seolah ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Tidak ada yang tampaknya mengganggunya, dan itu membuatku sedikit iri. Tetapi, di sisi lain, aku tahu bahwa dia pasti merasa khawatir juga, meski ia tidak menunjukkan tanda-tanda itu.

Hari itu, saat istirahat makan siang, aku duduk di meja kantin sendirian, menikmati sepotong roti dengan secangkir teh hangat, berusaha menenangkan pikiran yang mulai kacau. Tiba-tiba, seseorang duduk di meja depanku. Aku mengangkat kepala dan mendapati Clara, rekan kerjaku yang selama ini jarang berbicara denganku, sudah duduk di hadapanku dengan tatapan penasaran.

"Amelia, bolehkah aku bicara sebentar?" tanyanya, suaranya agak ragu, seolah takut mengganggu.

Aku tersenyum ringan dan mengangguk, memberi izin. "Tentu, ada apa?"

Lihat selengkapnya