Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #13

13

Hari-hari setelah pengakuan kami terasa berbeda. Meskipun kami masih sibuk dengan pekerjaan, ada sesuatu yang lebih ringan antara aku dan Mateo. Suasana di kantor berubah menjadi lebih nyaman, meski kami masih berusaha menjaga profesionalisme. Kami bekerja sama dengan lebih solid, tetapi kini ada kenyamanan tersendiri saat kami saling berbicara, saling berbagi pandangan tentang proyek yang tengah kami jalani.

Namun, di luar pekerjaan, ketegangan kecil kadang muncul. Aku merasa tidak mudah menyeimbangkan perasaan pribadi dengan tuntutan pekerjaan yang terus menerus datang. Keputusan untuk lebih dekat dengan Mateo bukanlah hal yang aku anggap remeh. Setiap kali kami berbicara lebih dalam tentang hubungan ini, aku merasakan ada ketakutan akan perubahan yang besar. Takut kalau perasaan itu bisa merusak segalanya.

Tapi ada juga keinginan kuat untuk tetap mencoba, karena aku merasa bahwa kami memiliki sesuatu yang lebih daripada sekedar rekan kerja.

Pagi itu, aku sedang menunggu Mateo di kedai kopi favorit kami di dekat kantor. Aku sudah memesan cappuccino untukku, dan sekotak muffin untuknya. Sejak kami mulai lebih dekat, kami sering bertemu di sini untuk sekedar berbicara tentang pekerjaan atau kehidupan pribadi. Aku menikmati kebersamaan kami yang tidak terikat oleh aturan perusahaan, namun tetap dalam batasan yang aman.

Ketika Mateo akhirnya tiba, wajahnya sedikit lebih serius dari biasanya. Aku bisa melihat ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

"Ada apa, Mateo?" aku bertanya, mencoba mencari tahu.

Dia duduk di depanku, matanya masih penuh pemikiran. "Aku... aku berpikir tentang sesuatu yang lebih jauh, Amelia."

Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. Apa yang dia maksud? Aku takut kalau dia akan mengatakan sesuatu yang aku belum siap dengar.

"Apakah ini tentang hubungan kita?" tanyaku hati-hati, mencoba menebak arah pembicaraan.

Mateo mengangguk, lalu memandangku dengan tatapan serius. "Aku tahu kita baru saja mulai, tapi aku merasa hubungan ini bisa menjadi lebih dari sekadar kita berdua di sini, di kantor. Aku ingin tahu, apakah kamu siap untuk melangkah lebih jauh, menjadi lebih terbuka?"

Aku merasa kebingunganku meningkat. Aku tahu bahwa hubungan ini, meski dimulai dengan dasar pekerjaan, bukanlah sesuatu yang bisa aku abaikan begitu saja. Namun, aku takut. Aku takut jika perasaan ini mengganggu fokus kami berdua, atau bahkan merusak pekerjaan yang sudah kami bangun bersama.

"Aku takut, Mateo," kataku akhirnya. "Aku takut kalau ini bisa merusak semuanya. Kita sudah cukup baik bekerja bersama, dan aku khawatir kalau perasaan kita bisa membuat segalanya jadi rumit."

Mateo menatapku dengan penuh pengertian, namun ada kesedihan yang terlihat di matanya. "Aku mengerti, Amelia. Aku tahu ini tidak mudah, dan aku tidak ingin memaksakan apapun. Tapi aku juga tidak ingin kita hanya terjebak dalam zona nyaman. Aku ingin kita menjadi lebih, meskipun itu berarti ada risiko."

Aku menarik napas dalam-dalam. Mateo benar. Aku tidak bisa terus bersembunyi di balik ketakutan. Jika aku ingin sesuatu yang lebih dengan Mateo, aku harus berani menghadapi semua ketidakpastian yang ada.

Aku meraih tangannya di atas meja, merasakan kehangatannya yang memberi rasa aman. "Aku ingin mencoba, Mateo. Aku ingin mencoba berjalan bersama, meskipun aku tahu akan ada tantangan di depan."

Mateo tersenyum lega, lalu memegang tanganku dengan erat. "Kita akan menghadapi semuanya bersama, Amelia."

Kami berdua duduk di sana, saling tersenyum, merasakan kedamaian yang datang setelah sebuah keputusan besar. Aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi satu hal yang pasti—kami sudah memulai langkah baru, bersama-sama.

Tidak ada jaminan bahwa hubungan kami akan berjalan mulus, tetapi untuk pertama kalinya, aku merasa siap menghadapi apa pun yang datang. Kami akan berjuang bersama, dalam cinta dan pekerjaan, menghadapi segala tantangan yang ada.

Hari-hari berikutnya terasa penuh dengan perasaan yang bertabrakan. Walaupun kami berusaha sebaik mungkin menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan hubungan pribadi, rasanya tidak mudah. Ada kalanya kami harus berhadapan dengan tekanan pekerjaan yang sangat tinggi, yang memaksa kami untuk fokus sepenuhnya pada tugas-tugas yang menumpuk.

Tapi di saat yang bersamaan, kami juga mulai lebih sering berbicara tentang masa depan kami. Aku merasa takut jika perasaan ini membuat segala sesuatunya menjadi lebih rumit. Aku tidak bisa memungkiri bahwa ada perasaan yang tumbuh di dalam diriku untuk Mateo, tetapi aku juga sangat khawatir jika hubungan ini akan mengganggu segala sesuatu yang telah kami bangun di kantor.

Aku terdiam di mejaku, menatap tumpukan dokumen yang harus segera diselesaikan. Beberapa laporan yang harus diserahkan akhir minggu ini masih belum selesai, dan aku tahu bahwa Mateo juga sibuk dengan proyeknya. Namun, ada hal lain yang lebih besar di pikiranku. Setelah kami berbicara beberapa hari yang lalu, rasanya sulit untuk memikirkan sesuatu selain hubungan kami.

Ponselku bergetar di atas meja. Ada pesan masuk dari Mateo.

"Kita perlu bicara lagi. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu tentang semua ini."

Aku menghela napas, membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Bagaimana perasaanku tentang semua ini? Aku tidak tahu. Aku rasa aku sedang berada di persimpangan yang membingungkan, dan setiap jalan sepertinya membawa pada ketidakpastian.

Aku membalas pesan itu dengan cepat.

"Aku tidak tahu, Mateo. Aku takut semuanya akan berubah. Aku tidak bisa hanya fokus pada hubungan kita. Aku masih perlu banyak waktu untuk berpikir."

Tak lama setelah itu, Mateo muncul di pintu ruanganku. Wajahnya terlihat sedikit cemas, dan aku tahu ini adalah momen yang berat bagi kami berdua.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Mateo dengan suara lembut, sambil duduk di kursi di depanku.

Aku hanya mengangguk. "Aku hanya... merasa bingung, Mateo. Rasanya seperti aku harus memilih antara pekerjaan dan perasaan. Aku tidak tahu bagaimana menyeimbangkannya."

Lihat selengkapnya