Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #14

14

Hari-hari setelah percakapan dengan Mateo terasa berbeda. Meskipun kami berdua berusaha untuk tetap profesional di kantor, aku merasa ada jarak yang semakin tipis di antara kami. Beberapa kali, aku menangkap tatapan singkat dari Mateo, yang terkadang bisa terasa sangat dalam, seolah dia ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian memilih untuk diam. Aku juga merasakan hal yang sama, ada banyak kata-kata yang ingin kuucapkan, namun aku tahu bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk itu.

Namun, hari itu, ketika aku sedang mengejar tenggat waktu untuk laporan proyek, aku mendengar langkah kaki di belakangku. Tanpa menoleh, aku sudah tahu siapa yang datang. Mateo.

"Amelia," suaranya terdengar sedikit lebih serius dari biasanya.

Aku melirik ke belakang. "Ada apa, Mateo? Aku sedang mencoba menyelesaikan laporan ini."

Dia berdiri di samping meja kerjaku, menatap layar komputernya sejenak. "Aku tahu kamu sibuk, tapi ada hal yang perlu kita bicarakan. Secara pribadi."

Tiba-tiba, dadaku terasa sedikit sesak. Ini yang aku takuti—pembicaraan yang lebih mendalam tentang perasaan kami. Aku menyandarkan tubuhku pada kursi, mencoba untuk tetap tenang. "Apa ini tentang pekerjaan? Atau tentang kita?"

Dia tersenyum tipis, namun aku bisa merasakan bahwa senyumnya itu mengandung banyak kebingungan. "Keduanya, mungkin," jawabnya pelan.

Aku menghela napas, meletakkan laporan di meja, dan memutuskan untuk menghadapi ini sekarang. "Baiklah. Katakan saja, Mateo."

Mateo menarik kursi dan duduk di depanku, memandangku sejenak dengan ekspresi yang sulit kubaca. "Aku merasa ada banyak hal yang belum selesai di antara kita, Amelia. Kita mungkin tidak berbicara tentang ini dengan jelas, tapi aku tahu kamu merasakannya juga."

Aku menundukkan kepala, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku juga merasa seperti itu. Tapi aku takut, Mateo. Takut jika kita terlalu terbawa oleh perasaan ini. Kita sudah hampir menyelesaikan proyek besar ini, dan aku tidak ingin semuanya hancur hanya karena perasaan pribadi."

Dia mengangguk, menyadari betul apa yang aku maksud. "Aku tahu, dan aku juga tidak ingin itu terjadi. Tapi... aku tidak bisa terus mengabaikan apa yang ada di antara kita. Kita berdua tahu itu."

Aku menatap matanya, yang sekarang terlihat lebih dalam dari sebelumnya. Ada kejujuran yang aku rasakan dari pandangannya. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanyaku, suaraku hampir tak terdengar.

Mateo terdiam beberapa detik, seolah mencerna setiap kata-katanya. "Aku tidak tahu. Aku hanya ingin kita jujur pada diri kita sendiri. Aku ingin kita bisa melewati ini bersama—tanpa merusak apa yang sudah kita bangun. Aku tidak ingin memilih antara pekerjaan dan kamu, Amelia."

Aku merasakan perasaan yang sama. "Aku juga tidak ingin memilih. Tapi, jika kita tidak bisa menemukan jalan tengah, kita mungkin akan kehilangan semuanya. Mungkin kita harus... memberi ruang untuk perasaan ini, tapi tetap menjaga jarak untuk sementara."

Mateo mengangguk, dan aku bisa merasakan ada sedikit beban yang terangkat dari pundaknya. "Kita akan mencari cara, Amelia. Kita akan melewati ini."

Aku tersenyum kecil. "Ya, kita akan menemukan jalan."

Kami duduk dalam keheningan beberapa saat, meresapi kata-kata yang baru saja keluar dari mulut kami. Kami tahu bahwa ini bukan akhir dari masalah kami, tetapi juga bukan awal yang buruk. Kami masih punya waktu untuk mencari tahu apa yang sebenarnya kami inginkan, baik dari pekerjaan ini maupun dari hubungan yang mulai berkembang di antara kami.

Ketika aku akhirnya berdiri dari kursi dan mengambil berkas-berkas yang harus segera diserahkan, Mateo berdiri dan mengikutiku. Sebelum aku bisa melangkah keluar, dia menghentikan langkahku dengan satu kalimat singkat.

"Amelia, terima kasih sudah mendengarkan."

Aku tersenyum, dan kali ini senyum itu terasa lebih tulus. "Terima kasih juga, Mateo."

Kami berpisah sejenak, tetapi aku tahu perasaan itu—perasaan yang semula berat dan penuh kebingungan—mulai menemukan titik terang. Kami mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti: Kami akan menemukan cara untuk tetap berdiri bersama, bahkan di tengah perasaan yang terus berkembang ini.

Pagi berikutnya, suasana di kantor terasa agak berbeda. Ada ketegangan yang tak terucapkan, namun bisa dirasakan oleh siapa saja yang ada di ruangan itu. Aku dan Mateo mencoba untuk bertindak seperti biasa, meskipun kenyataannya, aku tahu kami berdua sedang menahan banyak perasaan yang belum terselesaikan. Setiap kali aku melihatnya, ada dorongan untuk mengatakan lebih banyak, tapi aku tahu waktu itu belum tepat.

Aku mulai kembali fokus pada pekerjaanku, mencoba menenggelamkan diri dalam angka-angka dan laporan yang menunggu. Namun, meskipun pikiranku berusaha mengalihkan diri, mataku tetap melirik sesekali ke meja Mateo. Dia juga tampak sibuk, namun ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bekerja. Sepertinya, dia juga mencoba menghindari tatapan langsung.

Pukul 11 pagi, aku menerima pesan singkat dari Mateo. Hanya tiga kata yang terkirim: "Makan siang?"

Aku tersenyum sendiri saat membaca pesan itu. Tidak ada kata-kata berat, hanya sebuah ajakan sederhana. Aku mengetik balasan singkat: "Tentu, di mana?"

Lihat selengkapnya