Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #15

15

Minggu berikutnya datang dengan tantangan baru. Pekerjaan semakin menumpuk, dan kantor terasa semakin sibuk. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali aku bertemu dengan Mateo, ada perasaan hangat yang muncul di dalam diri ini. Kami memang tidak berbicara banyak tentang apa yang terjadi antara kami, tetapi semakin lama aku merasa semakin jelas, bahwa hubungan ini bukan sekadar hubungan kerja.

Hari itu aku menghadapi rapat penting dengan atasan, dan aku merasa sedikit tegang. Laporan yang kami buat bersama Mateo beberapa hari yang lalu mendapat pujian, dan aku harus mempertanggungjawabkan semua hal yang kami kerjakan di depan para eksekutif. Itu bukan hal yang mudah. Tapi entah mengapa, aku merasa lebih tenang daripada biasanya.

Mateo berdiri di belakangku, memberi isyarat bahwa dia siap mendukung, tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun. Aku merasa kehadirannya memberi rasa aman yang luar biasa. Meski begitu, tetap ada rasa cemas, seperti ada sesuatu yang belum terucapkan di antara kami.

Rapat berlangsung cukup lama, dan aku bisa merasakan ketegangan di udara. Namun, aku tetap bisa mengendalikan diri berkat dukungan Mateo yang ada di luar ruang rapat. Setelah rapat selesai, aku keluar dengan perasaan lega, meskipun sedikit lelah. Aku berbalik untuk melihat ke arah meja Mateo, tetapi dia tidak ada di sana.

Aku sedikit bingung. Biasanya, setelah rapat besar seperti itu, dia akan datang menghampiriku dan bertanya bagaimana semuanya berjalan. Tetapi kali ini, dia tidak terlihat. Aku memutuskan untuk mencari-cari, menanyakan rekan-rekan kerja, tetapi tak seorang pun tahu ke mana dia pergi. Ada sedikit rasa khawatir yang merayap masuk.

Aku kembali ke meja kerjaku dan mencoba menenangkan diri. Namun, meskipun aku berusaha untuk fokus pada tugas, pikiranku tak bisa lepas dari Mateo. Kenapa dia menghilang begitu saja?

Tak lama kemudian, pintu kantor terbuka, dan di sana dia berdiri. Mateo masuk dengan membawa secangkir kopi di tangannya, sambil tersenyum lebar. "Mau istirahat sejenak?" katanya dengan santai.

Aku hampir tidak percaya. "Kamu kemana tadi? Aku mencarimu."

Mateo meletakkan cangkir kopi di meja kerjaku dan duduk di kursi sebelahku. "Maaf, aku hanya butuh waktu sebentar untuk menyendiri. Aku rasa kita berdua butuh sedikit ruang setelah rapat itu."

Aku mengangguk, mencoba memahami. Meskipun aku ingin berbicara lebih banyak, ada sesuatu dalam sikapnya yang membuatku merasa bahwa dia sedang bergumul dengan perasaannya sendiri. Aku tidak ingin memaksanya berbicara jika dia tidak siap.

"Kamu baik-baik saja?" aku bertanya pelan, merasa sedikit cemas.

Mateo menatapku dengan tatapan lembut. "Aku baik-baik saja, hanya... kadang ada hal-hal yang sulit untuk diungkapkan."

Aku merasa ada ketegangan di antara kami, dan aku tidak tahu bagaimana cara menyikapinya. Apakah ini hanya ketegangan biasa yang datang karena pekerjaan? Atau ada hal lain yang belum dia ungkapkan? Aku tidak bisa menebak.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak terlalu khawatir. "Jika ada yang ingin kamu bicarakan, aku selalu ada di sini, Mateo."

Mateo tersenyum, namun senyumnya kali ini terlihat sedikit berbeda. Ada keraguan di dalam tatapannya. "Terima kasih, Amelia," katanya singkat.

Kami terdiam sejenak, sebelum akhirnya kembali fokus pada pekerjaan. Aku bisa merasakan ketegangan itu masih ada, seperti ada jarak yang belum sepenuhnya dijembatani. Aku hanya bisa berharap, bahwa waktu dan kepercayaan akan memperjelas segala hal yang belum kami bicarakan.

Sore itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Pekerjaan selesai, tetapi perasaan ini, yang mulai semakin kompleks, seakan semakin membelit.

Hari-hari setelah rapat besar itu terasa aneh. Aku dan Mateo kembali bekerja bersama seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang tak terucapkan di antara kami. Seolah-olah kami berdua tahu bahwa ada perasaan yang berkembang, tapi kami berdua tidak ingin menghadapinya. Aku masih ingat senyumnya yang sedikit canggung dan tatapan matanya yang penuh makna, tetapi kami tidak membicarakannya lebih lanjut.

Aku memutuskan untuk fokus pada pekerjaan, karena aku tidak tahu harus berkata apa. Setiap kali aku melihat Mateo, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Aku tidak tahu apakah itu hanya karena ketegangan profesional, atau jika memang ada sesuatu yang lebih dalam yang kami sembunyikan.

Pagi itu, aku duduk di meja kerjaku, menyelesaikan laporan yang harus diserahkan sebelum tengah hari. Ruangan itu terasa sepi, hanya suara ketikan keyboard yang terdengar. Aku sedikit merasa terbebani oleh kesunyian yang aneh, seperti ada jarak yang semakin melebar di antara kami, meskipun kami berada dalam ruang yang sama.

Tiba-tiba, pintu ruang kerjaku terbuka, dan aku menoleh. Mateo berdiri di sana dengan secangkir kopi di tangannya. Wajahnya terlihat lebih serius daripada biasanya. Aku bisa merasakan ketegangan yang ada, seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tetapi ragu untuk mengungkapkannya.

"Kamu sibuk?" tanyanya pelan, menatapku dengan mata yang tak bisa kubaca.

Aku mengangguk, meskipun aku merasa tidak sepenuhnya sibuk. "Sedikit. Ada beberapa laporan yang harus aku selesaikan sebelum siang."

Mateo berjalan mendekat, meletakkan secangkir kopi di meja kerjaku. "Mungkin ini bisa membantumu fokus," katanya sambil tersenyum, tetapi senyumnya kali ini terasa lebih datar daripada biasa.

Aku menerima kopi itu dan tersenyum kecil. "Terima kasih. Kamu baik sekali."

Lihat selengkapnya