Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #18

18

Beberapa hari setelah percakapan dengan Mateo, semuanya berjalan dengan relatif normal. Kami berdua masih berfokus pada pekerjaan, mencoba menjaga profesionalisme meskipun perasaan yang kami coba sembunyikan terus berkembang. Aku merasa cemas, tetapi juga terlepas sedikit demi sedikit dari keraguan yang sebelumnya mengikatku.

Namun, hari itu, tekanan mulai terasa lebih nyata.

Ketika aku tiba di kantor, aku disambut dengan sebuah pesan di ponselku, sebuah email yang mengubah segalanya. Ternyata, klien besar yang sudah kami incar selama berbulan-bulan memutuskan untuk memperpanjang proyek mereka, namun dengan syarat yang lebih ketat. Mereka ingin melihat kemajuan lebih cepat dan kualitas yang lebih tinggi. Tidak ada lagi ruang untuk kesalahan.

Tapi, masalah sebenarnya bukan terletak pada tuntutan klien. Aku mendengar bisik-bisik di kantor bahwa, ada seorang rekan kerja yang berencana untuk menurunkan posisiku jika aku gagal menyelesaikan proyek ini tepat waktu.

Aku menatap layar komputerkuku, hati mulai berdebar. Aku tahu proyek ini akan menjadi ujian pertama bagi hubungan kami, terutama dengan Mateo. Jika kami gagal, kami berdua akan menghadapi konsekuensi yang jauh lebih besar daripada sekadar pekerjaan.

Aku menarik napas panjang dan memutuskan untuk pergi ke ruang kerja Mateo. Pintu sudah terbuka sedikit, dan dia sedang duduk di meja dengan ponsel di tangan. Dia mengangkat kepala begitu melihatku masuk.

"Ada apa, Amelia?" tanya Mateo dengan nada lebih serius dari biasanya.

Aku menutup pintu di belakangku dan mendekat. "Ada masalah besar dengan proyek ini, Mateo," jawabku. "Klien menuntut lebih banyak, lebih cepat, dan ada rumor yang beredar bahwa ada orang yang ingin menurunkan posisiku jika kita gagal."

Mateo menatapku tanpa berkata apa-apa untuk beberapa detik, seolah-olah mencerna apa yang baru saja aku katakan. Kemudian dia meletakkan ponselnya dan menghela napas panjang.

"Jadi, ini ujian pertama kita, ya?" ujarnya pelan. "Kita harus menyelesaikan ini dengan baik. Tidak ada ruang untuk kesalahan."

Aku mengangguk, merasa cemas. "Aku tahu, tapi aku takut tidak bisa melakukannya. Apa yang harus kita lakukan, Mateo?"

Dia berdiri dan berjalan mendekat. "Amelia, aku tahu ini berat. Tapi kita bisa melakukannya. Kita hanya perlu fokus dan bekerja sama. Aku akan membantumu. Kita akan atasi ini bersama."

Aku merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-katanya. Ada keyakinan di sana yang membuat aku merasa sedikit lebih kuat. "Tapi bagaimana kalau kita gagal? Apa yang akan terjadi pada kita? Pada hubungan kita?"

Mateo menatapku dengan serius, matanya berkilat penuh semangat. "Kita tidak akan gagal, Amelia. Kita akan saling mendukung. Kamu tidak sendirian dalam ini."

Aku melihat Mateo, dan meskipun keraguan masih ada, aku merasa sedikit lebih tenang. Jika kami bisa melewati ujian ini, aku yakin hubungan kami akan semakin kuat. Tapi jika kami gagal, aku tahu akan ada konsekuensi yang harus kami hadapi bersama.

"Aku percaya padamu, Mateo," kataku, mencoba memberi dirinya sedikit keyakinan.

Mateo mengangguk, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan kami sebelumnya, aku merasa yakin. Kami mungkin menghadapi ujian yang besar, tetapi kami tidak akan menghadapinya sendirian. Kami akan melakukannya bersama.

Hari-hari berikutnya terasa semakin penuh tekanan. Setiap keputusan yang diambil, setiap detail kecil yang harus diperbaiki, semuanya terasa begitu penting. Klien yang kami hadapi adalah perusahaan besar, dan mereka tidak pernah memberi ruang untuk kesalahan. Setiap presentasi, setiap laporan, setiap perubahan yang kami buat, semuanya diperiksa dengan saksama.

Di tengah semua kekacauan ini, hubungan kami pun mulai terasa sedikit lebih tegang. Meskipun kami saling mendukung, ketegangan di kantor mulai terasa. Aku sering terbangun di tengah malam, berpikir tentang bagaimana semuanya akan berakhir. Bagaimana jika kami gagal? Apa yang akan terjadi pada karier kami? Dan yang lebih penting lagi, apa yang akan terjadi pada kami berdua?

Aku mencoba untuk menjaga keseimbangan, tetapi semakin lama, semakin jelas bahwa beban ini terlalu berat untuk ditanggung seorang diri. Aku membutuhkan Mateo lebih dari sebelumnya, meskipun aku merasa tidak adil membebani dia dengan kekhawatiranku.

Suatu sore, aku berada di ruang konferensi untuk membahas perkembangan terbaru dengan tim. Mateo masuk, dan aku melihat wajahnya yang tampak lelah. Dia langsung duduk di kursinya, menganggukkan kepala kepada semua orang di ruangan itu.

"Baik, kita mulai saja," kata Mateo, membuka laptop dan menampilkan presentasi.

Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam caranya berbicara. Nada suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya, sedikit lebih dingin, seolah-olah ada jarak antara kami yang semakin lebar. Aku tahu dia sedang menghadapi tekanan yang sama seperti aku, tetapi sepertinya dia mencoba menyembunyikan ketegangan itu.

Aku mencoba fokus pada rapat, mencatat setiap detail yang penting, tetapi mataku tak bisa lepas dari Mateo. Setiap gerakan, setiap ekspresi yang muncul di wajahnya, membuat hatiku semakin cemas. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan itu membuatku semakin tidak nyaman.

Lihat selengkapnya