Hari-hari setelah perbincangan di ruang rapat itu terasa lebih berat dari yang aku bayangkan. Meskipun Mateo dan aku berusaha menjaga komunikasi lebih baik, ada sesuatu yang selalu mengganggu pikiranku—sesuatu yang lebih besar dari sekadar perasaan cemburu atau kekhawatiran. Ada perasaan bahwa kami sedang berada di persimpangan jalan yang berbeda, dan keputusan besar harus segera diambil.
Pagi itu, seperti biasa, aku sampai lebih awal di kantor. Menatap layar komputer yang masih kosong, aku mulai merasakan ketegangan itu kembali. Aku teringat akan percakapan kami minggu lalu, saat Mateo berusaha menjelaskan perasaannya, dan aku merasa cemas, apakah aku sudah cukup memberi waktu dan perhatian padanya? Apakah aku sudah cukup mengerti apa yang dia butuhkan?
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Hari ini adalah hari yang penuh jadwal, rapat demi rapat menanti, dan aku tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk terlalu banyak berpikir. Tetapi, perasaan itu tidak bisa aku hilangkan begitu saja.
Tak lama, Mateo muncul di depan pintu ruanganku. Dengan langkah yang lebih mantap dari biasanya, dia menghadapiku, matanya sedikit berbinar.
"Aku butuh bicara sebentar," katanya, mengangkat alis.
Aku mengangguk, melangkah ke samping untuk memberi ruang baginya. "Tentu, ada apa?"
Dia berjalan mendekat, lalu duduk di kursi yang ada di depan meja kerjaku. Tidak ada senyum seperti biasanya, hanya ekspresi serius yang langsung membuatku tahu bahwa ini bukan percakapan biasa.
"Aku tahu kita sudah bicara tentang hubungan kita beberapa hari lalu," Mateo mulai, suaranya lebih dalam dari biasanya, seolah sedang mempertimbangkan kata-katanya dengan hati-hati. "Tapi aku rasa kita harus membuat keputusan tentang arah kita, tentang apa yang kita inginkan."
Aku merasa jantungku berdebar lebih cepat. "Keputusan? Seperti apa?"
"Seperti, apakah kita siap untuk melangkah lebih jauh dari ini?" tanya Mateo, matanya tidak lepas dariku. "Apakah kita hanya akan menjadi rekan kerja yang berusaha mempertahankan hubungan ini, atau... ada sesuatu yang lebih besar yang kita inginkan?"
Aku terdiam. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah kesunyian. Aku tahu, apa yang Mateo katakan bukan hanya sekadar tentang pekerjaan atau hari-hari biasa di kantor. Ini tentang masa depan kami berdua, tentang pilihan yang harus kami buat untuk melangkah maju.
"Aku tidak ingin berlarut-larut dalam ketidakjelasan," lanjutnya, suara nya lebih tenang. "Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan, Amelia. Karena aku sudah cukup lama menahan perasaan ini."
Aku menatapnya dalam-dalam, merasakan kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Kami berdua sudah melewati banyak hal bersama, dan mungkin inilah waktunya untuk menentukan apa yang sebenarnya kami inginkan.
"Apa yang kamu rasakan, Mateo?" aku akhirnya bertanya, berusaha menjaga ketenangan meskipun ada keraguan yang menguasai hati.
Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku merasa, kita punya kesempatan untuk lebih dari sekadar hubungan kerja. Tapi aku tahu, itu bukan sesuatu yang bisa aku tentukan sendirian. Itu keputusan kita berdua."
Aku menundukkan kepala, mencoba mencerna kata-katanya. Mungkin inilah saatnya untuk mengakui bahwa kami tidak bisa terus bertahan di tengah kebingungannya. Kami harus memutuskan apakah kami ingin mencoba untuk lebih dekat, lebih dari sekadar teman, atau apakah ini saat yang tepat untuk mengejar masing-masing jalan kami.
"Aku tidak tahu jawabannya sekarang," aku akhirnya mengatakannya dengan perlahan. "Tapi aku tidak ingin kita terburu-buru. Aku ingin kita meluangkan waktu untuk memahami ini, memahami perasaan kita."
Mateo mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. "Aku setuju. Kita tidak perlu terburu-buru, yang penting kita tahu apa yang kita inginkan."
Kedua tangan kami bertemu di atas meja, tanpa kata-kata lebih, hanya sentuhan yang mengatakan banyak hal. Kami tidak punya jawaban pasti hari itu, tetapi satu hal yang kami tahu—keputusan besar harus diambil. Kami hanya perlu waktu untuk memikirkannya lebih dalam.
Aku tahu, perasaan ini tidak akan mudah. Tapi mungkin, justru inilah saatnya bagi kami untuk benar-benar memilih jalan kami masing-masing—atau mungkin, jalan yang akan kami tempuh bersama.
Hari-hari setelah percakapan itu terasa penuh dengan kebimbangan. Aku dan Mateo tampaknya berjalan di jalur yang sama, namun rasanya kami tetap terpisah oleh jarak yang tak terlihat. Kami semakin sering bertemu di kantor, tapi obrolan kami lebih banyak tentang pekerjaan daripada perasaan yang sebenarnya mulai memendam. Rasanya seperti kami berdua sedang menunggu momen yang tepat, tapi momen itu terus menghindar.
Hari ini, aku merasa lebih tegang dari biasanya. Menatap layar komputer di meja kerjaku, aku merasa seperti ada banyak yang harus diselesaikan. Pekerjaan mengalir dengan deras, dan seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan penat yang menggerogoti. Mungkin ini adalah cara alam semesta memberitahuku untuk beristirahat, tapi aku tidak bisa. Tidak hari ini.
Ketika aku sedang menyelesaikan presentasi untuk klien besar, tiba-tiba aku menerima pesan singkat dari Mateo. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang tertulis di sana:
"Aku sudah memikirkan keputusan kita. Aku rasa, kita harus bicara lagi."
Hati aku berdegup kencang. Pesan itu datang di saat yang tidak tepat, saat aku benar-benar terjebak dalam urusan kantor yang tak ada habisnya. Tapi di sisi lain, pesan itu juga memberikan secercah harapan—mungkin ini adalah titik balik.
Aku menghela napas panjang, lalu membalas pesannya.
"Aku juga, Mateo. Kalau begitu, bagaimana kalau kita bertemu setelah jam kerja? Mungkin kita bisa bicara lebih jelas."
Pesan itu tidak langsung dibalas, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di seberang sana. Beberapa menit kemudian, Mateo membalas.
"Oke, setelah jam kerja. Aku tunggu."
Aku merasa sedikit lega, tapi di sisi lain, perasaan cemas masih mengganggu. Apa yang akan dia katakan? Apa yang akan terjadi setelah ini? Aku mulai berpikir, apakah ini momen yang akan menentukan arah hubungan kami—atau justru titik akhir?
Beberapa jam kemudian, tepat setelah jam kerja selesai, aku keluar dari ruanganku dan menuju ke kafe kecil yang biasa kami pilih untuk berbicara. Ini adalah tempat yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kantor, tempat di mana kami bisa lebih santai dan terbuka.