Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #20

20

Hari-hari berlalu dan dengan setiap langkah, aku merasa semakin terperangkap dalam perasaan yang semakin dalam. Mateo tetap menjaga jarak, meskipun ada momen-momen kecil yang membuatku merasa kami sedang berjalan dalam arah yang sama, seperti saat dia membuka pintu untukku atau ketika matanya menyelidiki pergerakanku dengan penuh perhatian.

Tapi, perasaan itu tetap harus disembunyikan di balik masker profesionalisme. Setiap kali aku melihat Mateo, aku merasakan ada ketegangan di antara kami, meskipun kami berdua berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaan. Aku tahu, dia pun merasakannya. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme yang terjalin di antara kami, tetapi kami berdua sepakat untuk tidak membicarakan perasaan itu lagi. Kami terlalu cerdas untuk membiarkan hal tersebut menguasai kami.

Hari itu, pertemuan dengan klien menjadi lebih menegangkan dari biasanya. Kami berdua duduk berdampingan, saling berusaha menjaga citra profesional kami, tetapi aku merasakan sesuatu yang berbeda. Kami berdua tidak berbicara lebih banyak dari yang diperlukan, tetapi setiap detik terasa penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Aku bisa merasakan Mateo sering mencuri pandang, mencoba membaca ekspresiku, dan aku juga melakukannya, meskipun aku berusaha keras untuk menjaga kontrol diriku.

Setelah rapat selesai, kami berdua kembali ke meja kami. Aku merasa perasaan cemas mulai menguasai diriku. Aku ingin berbicara dengan Mateo, tetapi aku tahu aku harus menjaga jarak.

"Kita harus berbicara," aku mengirim pesan singkat kepadanya melalui aplikasi pesan perusahaan.

Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar. Balasan dari Mateo.

"Aku tahu. Sore ini?"

Aku mengangguk pelan, meskipun dia tidak bisa melihatnya. Aku sudah tahu pembicaraan yang harus kami lakukan, dan itu bukan hal yang mudah. Kami perlu menentukan apakah hubungan ini bisa bertahan di luar batasan yang kami tetapkan, atau jika kami perlu memutuskan jalan masing-masing.

Setelah bekerja sepanjang sore, aku keluar dari gedung kantor dan melihat Mateo sudah menungguku di depan pintu. Wajahnya serius, meskipun ada sentuhan kelelahan di matanya.

"Ayo, kita pergi ke tempat yang lebih tenang," katanya dengan suara rendah, mengajak aku berjalan bersama.

Kami berjalan keluar dari gedung kantor menuju kafe kecil di dekat situ, tempat yang cukup sepi untuk berbicara tanpa ada gangguan. Di sana, kami duduk di meja pojok, jauh dari keramaian. Suasana kafe itu tenang, memberikan kami ruang untuk berbicara tanpa tekanan.

"Amelia," Mateo mulai, suaranya penuh dengan ketegangan yang bisa kurasakan. "Aku tidak ingin kehilanganmu. Tapi aku juga tahu, kita harus memutuskan apakah kita bisa lanjut dengan ini atau tidak."

Aku menghela napas panjang, berusaha mengendalikan perasaan yang mulai mengalir di dalam diriku. "Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Mateo. Tetapi, kita harus memikirkan semuanya dengan hati-hati. Kita berdua tahu apa yang dipertaruhkan."

Dia mengangguk pelan, matanya penuh dengan pemahaman. "Aku tahu. Kita berdua sudah berusaha keras untuk menjaga batasan, tapi aku tidak ingin menyembunyikan perasaan ini lebih lama lagi."

Aku menatapnya, merasakan ketulusan dalam kata-katanya. "Aku merasa hal yang sama. Tapi kita harus berhati-hati. Ini bukan hanya tentang kita, tetapi tentang pekerjaan dan semua yang ada di sekitarnya."

Kami terdiam sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikiran kami. Aku bisa merasakan keinginan untuk melangkah lebih jauh, tetapi ada ketakutan yang menghalangi. Aku tidak ingin merusak hubungan profesional kami, tetapi juga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanyaku akhirnya.

Mateo tersenyum, meskipun ada kekhawatiran di matanya. "Aku rasa, kita harus membicarakan ini lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, kita harus terus bekerja seperti biasa. Kita harus memastikan bahwa apa pun yang terjadi, pekerjaan kita tetap nomor satu."

Aku mengangguk, meskipun hatiku sedikit berat. Kami berdua tahu bahwa menjaga keseimbangan ini akan menjadi hal yang sulit. Tetapi, aku tahu ini adalah langkah yang benar. Kami perlu waktu untuk menemukan cara terbaik menghadapinya.

Setelah pertemuan kami di kafe, ada sesuatu yang berubah dalam suasana kantor. Meskipun kami berusaha sebaik mungkin untuk tidak membiarkan perasaan kami mempengaruhi pekerjaan, setiap pandangan dan percakapan menjadi lebih berat, penuh dengan sesuatu yang tidak terucapkan. Tidak ada yang berubah secara dramatis, tetapi perasaan itu ada di antara kami, terpendam di dalam kata-kata yang tidak kami ucapkan.

Pagi itu, aku tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja terbit, dan aku merasa gelisah, tidak bisa menunggu untuk melihat bagaimana semuanya akan berjalan. Aku tahu Mateo juga akan datang pagi ini, dan perasaan cemas itu terus menghantuiku.

Ketika dia akhirnya masuk ke ruang kerja kami, kami saling bertukar senyuman kecil, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Kami berdua langsung duduk di meja masing-masing, mulai bekerja seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Namun, saat aku menatap layar komputerkuy, ada sesuatu yang terasa berbeda. Aku merasakan tatapan Mateo yang lebih sering mengarah padaku, dan meskipun dia mencoba bersikap biasa, aku bisa melihat bahwa dia juga sedang berusaha mengendalikan dirinya. Aku membalas tatapannya sekilas, kemudian cepat-cepat beralih fokus pada layar komputerku, mencoba untuk mengalihkan perhatian.

Beberapa jam berlalu dengan penuh ketegangan yang semakin sulit untuk diabaikan. Kami bekerja lebih cepat, lebih keras, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa kami masih bisa melakukan pekerjaan dengan baik meskipun ada perasaan yang tidak terungkapkan. Namun, ketegangan itu mulai mempengaruhi cara kami berkomunikasi.

"Amelia," Mateo akhirnya memecah kebisuan. Suaranya pelan, namun tegas. "Ada beberapa perubahan yang perlu kita bahas mengenai proyek yang sedang kita kerjakan. Aku ingin pastikan kita berada di jalur yang sama."

Lihat selengkapnya