Hari-hari setelah percakapan di balkon itu berjalan dengan lebih hati-hati. Mateo dan aku berusaha menjaga jarak, tidak hanya dalam interaksi pribadi, tetapi juga dalam cara kami bekerja. Setiap rapat, setiap diskusi yang kami adakan, selalu berjalan dengan sangat profesional. Namun, meskipun kami berusaha menjaga segalanya tetap terkontrol, perasaan yang berkembang di antara kami seperti benang yang semakin rapat, sulit untuk dipisahkan.
Tapi, aku bisa merasakannya—meskipun kami menghindari pembicaraan pribadi, ada ketegangan yang terus menerus menggantung. Bahkan ketika kami berdua tidak berbicara, aku bisa merasakan matanya yang mengawasi setiap langkahku, dan sebaliknya, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.
Satu malam, ketika rapat selesai dan semua orang sudah meninggalkan kantor, aku dan Mateo masih duduk di meja, memeriksa beberapa laporan yang belum selesai. Aku mencoba fokus pada layar laptopku, tetapi pikiranku teralihkan lagi. Ada sesuatu dalam cara Mateo bergerak, dalam cara dia menatapku seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia menahan diri.
"Amelia," suara Mateo memecah keheningan. "Kau sudah selesai dengan laporan ini?"
Aku menatap layar sejenak, lalu mengangguk. "Sudah. Hanya tinggal beberapa catatan kecil saja."
Dia menarik napas panjang, kemudian meletakkan kertasnya di meja. "Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan."
Aku menatapnya, merasa jantungku berdegup kencang. "Tentang apa?"
"Tentang kita," jawab Mateo dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. "Aku tahu kita sudah mencoba menjaga semuanya tetap profesional, tapi... aku merasa kita tidak bisa terus seperti ini."
Aku merasa perasaan itu melanda diriku dengan keras, seperti gelombang yang datang begitu saja. Mateo pun tampaknya merasakan hal yang sama, dan aku tahu inilah saatnya—kami tak bisa lagi menghindar dari kenyataan bahwa perasaan kami sudah melampaui batas profesionalisme.
Aku menatapnya dengan cemas. "Mateo, kita tidak bisa begitu saja melupakan batasan itu. Aku tahu hubungan kita mulai berkembang, tapi kita harus berpikir panjang. Semua orang di kantor ini... mereka pasti akan melihat sesuatu yang berbeda jika kami terlalu terbuka."
Mateo mengangguk, tetapi matanya tetap tidak lepas dari mataku. "Aku paham, dan aku tidak ingin merusak apa yang sudah kita bangun di sini. Tapi aku juga tidak bisa terus menahan perasaan ini. Aku merasa kita harus jujur pada diri kita sendiri, Amelia."
Aku terdiam, otakku mulai dipenuhi dengan pertanyaan dan keraguan. Mungkin ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan perasaan kami. Tapi di sisi lain, aku tahu bahwa jika kami terus mengabaikannya, perasaan ini akan semakin sulit dikendalikan.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanyaku, dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Mateo menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu, Amelia. Tapi aku tidak ingin perasaan ini menjadi sesuatu yang kita sembunyikan lagi. Mungkin kita harus bicara lebih terbuka tentang apa yang kita rasakan. Tapi hanya jika kamu siap."
Aku merasa perasaan itu semakin kuat, seolah-olah aku tidak bisa lagi menahan semuanya. "Aku juga merasa hal yang sama, Mateo. Mungkin kita perlu lebih banyak waktu untuk memikirkan semuanya... tapi aku tidak ingin kita kehilangan arah hanya karena perasaan kita."
Dia mengangguk, sepertinya merasakan ketegangan yang sama. "Aku setuju. Kita harus memastikan semuanya tetap berjalan dengan baik, meskipun perasaan ini sulit untuk diabaikan."
Kami berdua duduk dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku tahu, perjalanan kami baru saja dimulai, dan apa yang terjadi selanjutnya akan memengaruhi bukan hanya hubungan kami, tetapi juga karier kami di kantor ini.
Tidak ada yang tahu bagaimana semuanya akan berakhir. Tetapi satu hal yang pasti—perasaan yang kami rasakan tidak bisa disembunyikan lagi, dan kami harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.
Hari-hari berlalu dengan perasaan campur aduk yang terus melingkupi kami berdua. Setelah percakapan yang penuh ketegangan di ruang rapat, kami sepakat untuk menjaga jarak sementara waktu. Meskipun kami berusaha sebaik mungkin untuk fokus pada pekerjaan, aku merasakan ada sesuatu yang tak bisa dihindari. Ada dorongan kuat di dalam diriku yang mengatakan bahwa kami tidak bisa terus menahan semuanya.
Pada suatu pagi yang cerah, aku sedang memeriksa email saat Mateo masuk ke ruangan. Suasana di kantor hari itu terasa lebih riuh dari biasanya, dengan suara langkah kaki yang terburu-buru dan orang-orang yang sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Namun, ketika Mateo duduk di kursi di sebelahku, segala suara itu seakan menghilang. Aku hanya bisa merasakan kehadirannya, seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pekerjaan yang menghubungkan kami.
"Amelia," suaranya menginterupsi lamunanku. "Ada pembaruan untuk laporan proyek, tapi aku rasa kamu lebih tahu soal ini."
Aku menatapnya, sedikit terkejut dengan cara dia berbicara. Biasanya, Mateo lebih formal dan tidak pernah menunjukkan sisi yang lebih pribadi di kantor. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda, seolah ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan lagi.
"Ya, aku akan mengeceknya," jawabku, berusaha tetap menjaga profesionalisme meskipun jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
Tetapi, saat aku mulai membuka file di layar, aku merasakan tatapan Mateo yang mengarah padaku. Aku bisa merasakannya meskipun aku tidak menoleh ke arahnya. Mataku tetap fokus pada layar, tetapi pikiranku mulai melayang. Apakah ini saatnya untuk berbicara lagi? Mungkin perasaan kami sudah terlalu besar untuk dibiarkan begitu saja.
Tiba-tiba, aku merasa sesuatu yang aneh—suara langkah kaki yang terdengar semakin dekat. Aku menoleh, dan melihat Karen, rekan kerja kami yang selalu penuh semangat, melangkah masuk ke ruangan dengan senyum lebar.
"Amelia, Mateo! Aku baru saja mendapat kabar baik! Proyek kita disetujui oleh klien utama," kata Karen dengan antusias.
Aku mengangguk, berusaha meredakan ketegangan yang masih terasa di antara aku dan Mateo. "Itu luar biasa," jawabku dengan senyum tipis, meskipun pikiranku masih berputar pada apa yang terjadi antara kami.
Mateo tampaknya juga merasa perlu mengalihkan perhatian. "Tentu, ini pencapaian besar bagi tim," katanya dengan nada datar, seolah menghindari percakapan pribadi lebih lanjut.
Namun, meskipun kami berbicara tentang pekerjaan, aku bisa merasakan perasaan yang menggelora di antara kami. Aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hubungan kami semakin rumit. Ada begitu banyak hal yang belum selesai, begitu banyak hal yang kami simpan.
Karen tidak lama kemudian pergi, dan kami kembali dalam keheningan yang agak canggung. Aku tahu, seharusnya aku bisa lebih terbuka. Tetapi entah mengapa, ada ketakutan yang menghalangiku. Ketakutan akan apa yang bisa terjadi jika kami benar-benar mengungkapkan semuanya. Apakah kami siap untuk menghadapi konsekuensinya?