Hari-hari berikutnya berjalan dengan cepat. Pekerjaan kami semakin intens, dan rasanya aku tak sempat berhenti sejenak untuk merenung. Presentasi besar itu hampir tiba, dan aku tahu itu akan menjadi titik penting dalam karier kami. Semua orang di kantor terlihat sibuk, berlarian mengerjakan tugas mereka masing-masing. Namun, di tengah semua itu, hatiku masih terombang-ambing, terperangkap antara perasaan dan pekerjaan.
Aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang semakin membesar untuk Mateo, tetapi di sisi lain, aku takut jika hubungan ini akan merusak semuanya. Kami bekerja begitu dekat, dan segala sesuatunya bisa berantakan jika kami salah melangkah. Apakah aku benar-benar siap menghadapi semua konsekuensinya?
Aku berusaha untuk fokus pada pekerjaanku. Di meja kerjaku, laporan yang harus diselesaikan terasa semakin menumpuk, dan aku merasa sedikit kewalahan. Namun, meskipun begitu, bayangan wajah Mateo terus menggangguku. Setiap kali aku melihatnya dari jauh, ada perasaan hangat yang tumbuh, dan aku mulai merasa sangat tergantung pada keberadaannya.
Suatu pagi, saat aku sedang duduk di ruang kerja, aku melihat Mateo berjalan melewatiku, matanya bertemu dengan mataku sejenak. Ada pesan yang terkandung dalam tatapannya—sesuatu yang lebih dari sekadar sapaannya. Tapi, aku tidak tahu apa itu. Apakah itu rasa cemas? Atau mungkin rasa harapan?
Dia berhenti sejenak di samping meja kerjaku. "Amelia," panggilnya, suaranya lembut namun penuh arti. "Boleh kita bicara sebentar?"
Aku mengangguk, lalu mengikutinya keluar menuju area lounge kantor yang lebih sepi. Suasana di sini terasa lebih tenang, dan meskipun ada beberapa orang yang berjalan cepat melewati kami, aku bisa merasakan ketegangan di antara kami berdua.
Mateo memulai percakapan dengan ragu. "Aku tahu kita sudah bicara tentang ini sebelumnya, tapi aku ingin pastikan, Amelia... apakah kamu sudah siap untuk membuat keputusan itu? Aku tidak ingin menunggu lebih lama, aku tidak ingin perasaan ini mengganggu kita lebih jauh lagi."
Aku menelan ludah, mencoba untuk tidak terlihat tertekan. "Aku tahu ini penting, Mateo. Aku juga merasa ada perasaan yang semakin kuat di antara kita. Tapi, aku takut kalau itu bisa merusak hubungan profesional kita. Apa kita benar-benar bisa menghadapinya tanpa membuat semuanya rumit?"
Mateo mendekat sedikit, suaranya lebih lembut. "Amelia, aku sudah memikirkan ini jauh-jauh hari. Aku ingin tahu kalau kita bisa lebih dari sekadar teman kerja. Aku ingin kita coba, meskipun aku tahu itu mungkin tidak mudah."
Aku menatap matanya dalam-dalam. Ada ketulusan di sana, yang membuat hatiku berdebar lebih cepat. "Tapi... apa kita siap menghadapi semua risiko itu? Semua orang di kantor tahu tentang kita. Aku tidak ingin kita menjadi bahan gosip atau malah merusak karier kita."
Mateo tersenyum sedikit. "Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Aku hanya peduli dengan kita, Amelia. Kita berdua. Jadi, jika kamu merasa siap, aku siap. Tapi aku butuh tahu kalau kamu juga merasakannya."
Aku terdiam, hati dan pikiranku saling bertarung. Apakah aku benar-benar siap untuk langkah besar ini? Apakah aku siap mengambil risiko? Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, aku mengangguk perlahan.
"Aku... aku rasa aku siap," kataku, suara sedikit bergetar. "Aku tidak ingin menyesalinya nanti. Aku ingin kita coba, Mateo."
Wajah Mateo seketika berubah, senyum yang tulus menghiasi bibirnya. "Terima kasih, Amelia. Aku tidak akan mengecewakanmu."
Kami saling tersenyum, meskipun ada ketegangan yang masih tersisa. Aku merasa sedikit lebih lega, tetapi juga semakin cemas. Sekarang, kami harus menjaga perasaan ini dan tetap bekerja bersama dengan profesionalisme tinggi. Tidak mudah, tetapi aku yakin kami bisa menghadapinya.
Saat kami kembali ke ruang kerja, aku merasa ada perubahan dalam cara kami berinteraksi. Kami mulai berbicara lebih sering, lebih terbuka satu sama lain, tetapi tetap menjaga jarak profesional. Semua itu masih terasa baru, dan aku tahu tantangan besar ada di depan kami.
Namun, aku merasa ada harapan. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan kerja di antara kami. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar proyek atau deadline yang harus diselesaikan. Dan aku hanya berharap bahwa apa yang kami bangun ini tidak akan merusak apa yang telah kami capai.
Minggu-minggu berikutnya terasa seperti berjalan di atas tali. Setiap langkah yang aku ambil bersama Mateo, setiap percakapan yang kami lakukan, terasa penuh dengan ketegangan yang tak tampak. Kami berusaha untuk menjaga semuanya tetap profesional, tetapi perasaan yang tumbuh di antara kami tak bisa disembunyikan begitu saja. Setiap tatapan yang kami bagi, setiap senyum yang muncul, terasa berbeda—lebih dalam, lebih berarti.
Namun, pekerjaan kami tidak berhenti. Presentasi besar yang kami persiapkan semakin dekat, dan kami semakin sibuk dengan persiapan. Semua orang di kantor tampak fokus pada tujuan yang sama, dan kami tahu bahwa kesuksesan proyek ini akan menjadi penentu langkah karier kami berikutnya. Di sisi lain, perasaan kami berdua masih bergulir dalam diam, menunggu untuk diungkapkan lebih lanjut.
Hari itu, aku duduk di ruang rapat bersama Mateo dan beberapa rekan lainnya. Kami sedang mempersiapkan presentasi terakhir untuk klien besar kami. Suasana di ruang rapat itu penuh dengan diskusi serius, dengan papan tulis yang dipenuhi diagram dan catatan penting. Semua orang bekerja dengan penuh konsentrasi, tetapi ada saat-saat di mana mata kami bertemu, dan aku bisa merasakan ketegangan itu kembali. Segala sesuatu terasa lebih intens daripada biasanya.
Setelah beberapa jam berdiskusi, rapat akhirnya selesai. Kami semua keluar dari ruang rapat, bergegas menuju meja masing-masing untuk menyelesaikan tugas terakhir yang harus dipersiapkan. Namun, aku merasa ada sesuatu yang berbeda kali ini—ada sesuatu yang tak bisa diabaikan lagi.
Aku melihat Mateo sedang berdiri di dekat pintu, menunggu untuk berbicara denganku. Tanpa berpikir panjang, aku berjalan mendekatinya. Dia tersenyum tipis, tetapi ada ketegangan yang jelas terlihat di wajahnya.
"Ada yang perlu dibicarakan?" tanyaku, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatiku berdebar.
Mateo mengangguk, sedikit ragu. "Ya, Amelia. Aku tahu kita sudah sepakat untuk coba lebih dekat, tapi... aku ingin memastikan kita tidak kehilangan fokus pada pekerjaan kita. Aku tahu ini sulit, dan aku tidak ingin kita terganggu oleh perasaan kita."