Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #24

24

Pagi itu, aku datang lebih awal, seperti biasa. Ruang kantor terasa hening, seakan mengantarkan suasana yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Keadaan antara Mateo dan aku, meskipun masih terjaga, semakin tidak jelas. Kami mencoba mengabaikan perasaan masing-masing, tetapi semakin kami berusaha untuk menahan diri, semakin besar pula dorongan untuk saling memahami.

Aku mulai membuka laptopku, mencoba menenangkan pikiran dengan pekerjaan. Proyek besar yang kami kerjakan semakin mendekati tenggat waktu. Rasanya, pekerjaan adalah satu-satunya hal yang mengalihkan pikiranku dari apa yang terjadi di antara kami.

Tiba-tiba, pintu ruang kerjaku terbuka, dan suara langkah kaki yang sudah kukenal menghampiri meja kerjaku. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.

"Amelia," suara Mateo memecah kesunyian. "Aku tahu kita sudah menyepakati untuk fokus pada pekerjaan, tapi aku merasa ada sesuatu yang perlu kita bicarakan."

Aku menghela napas pelan, menatap layar laptop. Bagaimana aku harus menjawabnya? Terkadang, aku merasa ragu apakah keputusan ini adalah yang terbaik untuk kami berdua.

"Ada apa, Mateo?" tanyaku, berusaha tetap tenang.

Dia menarik kursi di depanku dan duduk dengan tatapan serius. "Aku merasa kita sudah terlalu lama saling menghindar. Sejujurnya, aku nggak bisa terus-terusan berpura-pura tidak merasakan apa-apa."

Aku diam, tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Semua perasaan yang selama ini aku pendam seolah mendesak untuk keluar. Apa yang harus kami lakukan dengan semua ini?

"Aku tahu ini rumit," lanjut Mateo, "tapi aku ingin kita berbicara dengan jujur. Tentang perasaan kita, tentang apa yang akan kita lakukan setelah proyek ini selesai."

Aku menggigit bibir, merasa bingung. Ini adalah percakapan yang sudah lama kuhindari. Tapi kini, sepertinya tidak ada cara lain untuk menghindarinya.

"Mateo," aku mulai, memandangnya dengan serius, "aku juga merasa hal yang sama. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Apakah kita harus berani melangkah lebih jauh, atau tetap menjaga jarak?"

Mateo mengangguk pelan, seolah berpikir keras. "Aku ingin kita melangkah lebih jauh, tetapi aku juga takut. Kita tidak bisa begitu saja melupakan batasan yang ada. Kita harus menjaga profesionalisme, Amelia."

"Aku tahu," jawabku, "tapi aku tidak bisa menahan perasaan ini selamanya. Aku juga takut kalau kita melanjutkan hubungan ini, semua akan berantakan."

Suasana di ruangan itu terasa tegang. Kami berdua terdiam, masing-masing merasakan kebingungan yang sama. Tak ada jawaban yang mudah, tak ada jalan yang jelas. Kami hanya bisa melangkah pelan, mencoba untuk memahami satu sama lain.

Akhirnya, Mateo memecah kesunyian. "Aku tidak tahu bagaimana kita bisa menghadapinya, Amelia. Tapi aku ingin berusaha. Apa pun yang terjadi, aku ingin kita tetap bersama, bahkan jika itu hanya dalam pekerjaan."

Aku menatapnya, merasa ada kehangatan di balik kata-katanya. "Aku juga ingin itu, Mateo. Aku hanya takut kalau kita terlalu terikat, semua akan menjadi terlalu rumit."

Mateo tersenyum tipis, meskipun ada keraguan di matanya. "Kita akan menemukan jalan, Amelia. Kita hanya perlu waktu."

Kami duduk dalam diam sejenak, masing-masing berusaha mencerna apa yang baru saja dibicarakan. Ada perasaan yang mengambang di antara kami, namun kami berdua tahu bahwa untuk melanjutkan, kami harus jujur satu sama lain. Kami harus memilih antara mengejar perasaan kami atau tetap terjebak dalam ketidakpastian.

Setelah percakapan itu, ada perasaan yang berat di dadaku. Kami berdua kembali ke pekerjaan kami, mencoba untuk tidak membiarkan perasaan ini mengganggu tugas yang harus diselesaikan. Namun, meskipun aku berusaha untuk tidak memikirkannya, kata-kata Mateo terus terngiang di kepalaku.

Aku tahu, semakin lama aku mencoba menepis perasaan itu, semakin sulit untuk menahannya. Keberadaan Mateo dalam hidupku telah mengubah segalanya, bahkan tanpa kami berdua menyadarinya.

Hari-hari berlalu, dan meskipun kami bekerja bersama dalam ketegangan yang tak terucapkan, kami berusaha menjaga profesionalisme. Tidak ada lagi perbincangan pribadi antara kami, tidak ada lagi tatapan lama yang penuh arti. Kami kembali menjadi rekan kerja, meskipun di dalam hati kami masing-masing ada perasaan yang semakin sulit disembunyikan.

Hingga suatu hari, ketika aku duduk di meja kerjaku, melihat sebuah email masuk dari Mateo. Aku membuka email itu dengan perlahan, membaca setiap kata yang tertulis.

"Amelia,"

Lihat selengkapnya