Deadline dan Perasaan

Penulis N
Chapter #25

25

Hari itu, aku dan Mateo memutuskan untuk melanjutkan percakapan yang sudah tertunda. Jam kerja hampir selesai, dan sepertinya seluruh kantor mulai kosong. Aku masih duduk di mejaku, menatap layar komputer tanpa benar-benar melihat apa yang ada di depan mataku. Pikiranku melayang ke pertemuan tadi dan kata-kata Mateo yang menggantung di udara.

Aku tak tahu harus mulai dari mana. Ini bukan percakapan biasa. Ini tentang kami, tentang bagaimana kami akan menavigasi hubungan ini dengan segala dinamika pekerjaan yang ada di antara kami. Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.

"Amelia," suara Mateo memecah keheningan, membuatku terkejut. Dia sudah berdiri di depan mejaku, memandangku dengan tatapan yang lebih serius dari biasanya. "Kita perlu bicara."

Aku mengangguk, merasakan sedikit ketegangan di dadaku. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku bangkit dari kursiku, mengikuti langkah Mateo yang sudah berjalan ke arah pintu keluar. Kami berjalan bersama menuju kafe kecil di luar kantor. Tempat yang biasa kami datangi, namun kali ini terasa berbeda—lebih pribadi.

Di meja sudut yang biasa kami pilih, kami duduk berhadapan. Mateo memesan dua cangkir kopi, sementara aku hanya memesan air mineral. Suasana di kafe itu tenang, meskipun ada beberapa orang lain yang sedang berbicara di meja mereka, tetapi kami tetap terjebak dalam gelembung kecil kami sendiri.

"Amelia," Mateo memulai, suaranya lembut namun tegas. "Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk semua yang terlibat. Tapi aku ingin kita bisa membuat keputusan ini bersama, secara jujur."

Aku menatap matanya, mencari jawaban dari dalam tatapannya. "Apa maksudmu?" tanyaku pelan.

Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghela napas. "Aku ingin kita menjalani ini dengan cara yang benar. Aku tahu kita berdua punya perasaan satu sama lain, tapi kita juga harus menyadari bahwa hubungan kita bisa mempengaruhi banyak hal di luar sana—di kantor, di proyek kita, bahkan dalam pertemanan kita dengan rekan kerja."

Aku menunduk, merasa beban itu kembali menyentuh hatiku. Aku tahu benar apa yang dia maksud. Memiliki hubungan dengan seseorang yang bekerja dalam tim yang sama pasti menimbulkan banyak kerumitan.

"Tapi aku percaya pada kita," lanjut Mateo, memecah keheninganku. "Aku percaya kita bisa melewati semua ini. Aku tak ingin kehilangan apa yang kita miliki hanya karena takut akan kemungkinan buruk."

Aku menatapnya, merasa seolah kata-katanya menyentuh bagian terdalam dalam diriku. Aku tak bisa menyangkal bahwa aku juga merasa hal yang sama. Aku ingin terus bersamanya, tetapi aku juga takut, takut jika semuanya akan berakhir buruk.

"Mateo, aku takut," aku mengungkapkan apa yang ada dalam pikiranku, suaraku hampir berbisik. "Takut jika kita melangkah terlalu jauh dan ini merusak semuanya. Kita bekerja bersama, dan jika hubungan kita diketahui orang lain, mungkin itu akan berdampak buruk bagi kita."

Mateo mengangguk, tangannya meraih tanganku di atas meja, memberikan kehangatan yang kurindukan. "Aku tahu, Amelia. Tapi aku percaya, jika kita menjalani ini dengan hati-hati, kita bisa menghadapinya. Kita hanya perlu saling mendukung, jujur satu sama lain, dan menjaga batasan kita."

Aku menatapnya dalam-dalam. "Kita harus bisa menjaga profesionalisme kita," kataku dengan keyakinan. "Tapi kita juga harus tetap jujur dengan perasaan kita. Aku tidak ingin menahan perasaan ini, tapi aku juga tidak ingin menyakiti siapa pun."

Mateo tersenyum, senyum yang penuh pengertian. "Aku juga tidak ingin itu. Tapi aku yakin kita bisa menemukan jalan tengahnya."

Kami duduk dalam keheningan beberapa saat, merenung, menikmati secangkir kopi yang datang beberapa menit setelahnya. Di luar, hujan mulai turun dengan deras, membasahi kota yang sudah mulai sepi.

Aku merasakan ada sesuatu yang berubah di antara kami. Ada ikatan yang lebih kuat, namun juga lebih rumit. Kami tak lagi hanya dua individu yang bekerja bersama, tapi ada perasaan yang mengikat kami, sesuatu yang lebih pribadi dan mendalam.

Saat kami selesai dengan kopi kami dan berbicara lebih lanjut tentang bagaimana kami akan menangani situasi ini di masa depan, aku merasa sedikit lebih tenang. Kami sepakat untuk menjaga profesionalisme, tetapi juga untuk tidak menahan diri dengan perasaan yang semakin berkembang.

Ketika kami keluar dari kafe dan berjalan kembali ke kantor, aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi satu hal yang pasti—kami akan berjalan bersama, apapun yang terjadi.

Pagi ini, aku merasa lebih tenang. Hujan semalam seakan membawa perasaan yang lebih ringan, walaupun tetap ada rintangan yang harus kami hadapi. Dalam perjalanan menuju kantor, aku dan Mateo saling mengirim pesan singkat, mengingatkan satu sama lain tentang komitmen kami untuk menjaga profesionalisme di kantor.

Setibanya di kantor, aku disambut oleh suasana yang sedikit lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena banyak yang sedang fokus pada rapat besar yang sedang berlangsung di lantai atas. Aku masuk ke ruanganku dan melemparkan tas ke kursi, mencoba untuk menata pikiranku.

Mateo mengirimkan pesan singkat lagi: "Kita siap?"

Aku tersenyum dan membalas dengan cepat: "Kita selalu siap."

Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka, dan wajah familiar muncul di ambang pintu. Itu adalah Rina, rekan kerja yang juga teman dekatku di kantor. Dia menyeringai dan berjalan masuk tanpa diundang.

"Kalian berdua sudah selesai dengan pertemuan kalian kemarin?" tanya Rina sambil duduk di kursi depan meja kerjaku. "Aku dengar kalian berdua banyak bicara setelah kerja kemarin."

Aku mencoba untuk tetap santai, tetapi hatiku mulai berdebar. Mungkin aku terlalu terbuka, mungkin kami terlalu banyak menunjukkan kedekatan yang akhirnya mulai diperhatikan oleh orang lain. Aku menatap Rina dengan senyuman terpaksa. "Hanya sedikit obrolan pekerjaan, Rina. Tidak ada yang spesial."

Rina menyandarkan punggungnya ke kursi dan mengangkat alisnya. "Oh, begitu? Kalau begitu, kenapa ada yang bilang kalian berdua terlihat sangat dekat akhir-akhir ini?"

Aku menelan ludah, dan sejenak merasa kebingungan. Mateo dan aku sudah berusaha menjaga jarak di kantor, tetapi tentu saja, beberapa sikap kecil kami tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Aku berharap tidak ada yang curiga.

Lihat selengkapnya