"Saya mau laporan keuangan dari 4 bulan lalu. Ah ya, satu lagi, laporan penjualan selama 1 taun."
"Tapi pak." Belum juga Elina membuka suara, pria di seberang sana sudah dengan seenaknya menutup telepon. Dia tak keberatan menerima telepon, tapi lihat jam. Ini sudah jam 12 malam dan dia baru saja selesai melakukan skincare rutinnya tadi.
Pria itu memang punya kebiasaan menganggap segalanya mudah. Bahkan di hari pertama Elina bekerja dulu, sang bos memintanya merekap setiap data dan menyerahkannya dalam waktu yang singkat. Kemudian, Elina ingat saat pria itu juga menghubunginya di jam 1 pagi hanya untuk memastikan dia menyelesaikan laporannya. Dia cukup menyebalkan 'kan? Mana perfeksionis lagi, segalanya harus sesuai dengan apa yang dia perintahkan.
Namanya Sean Ardiyan Putra. Seperti kebanyakan pria di usianya yang menginjak 23 tahun dan sudah memiliki perusahaan yang cukup besar, sikapnya memang agak menyebalkan. Seenaknya dan perfeksionis hingga Elina berkali-kali berpikir untuk resign. Andai bukan karena sulitnya mencari pekerjaan untuk ukuran seorang fresh graduate, dia pasti sudah lama merealisasikan keinginannya itu.
Wajahnya memang tak terlalu tampan. Elina bahkan bisa menganggap visual sang bos masih di garis rata-rata. Tidak sekeren Jung Jaehyun yang dia pasang di salah satu dinding kamarnya, atau bahkan Johnny Suh yang merupakan tipe idealnya. Namun, Sean memang menganggap dirinya superior dan maha segalanya mentang-mentang berhasil membangun usahanya tanpa embel-embel putra seorang pemilik perusahaan besar.
"Ini malem senin loh," gumam Elina. Meski dengan mata yang mulai sepat, Elina tetap mengerjakan apa yang diminta oleh sang bos. Bukan apa-apa, dia hanya tak mau mendengar ocehan pria itu di Senin paginya yang sudah terasa berantakan. Ayolah, mereka tinggal di Ibu kota dan sudah dapat dipastikan perjalan hari Senin memang cukup melelahkan karena kemacetan di mana-mana.
Elina berdecak saat ponselnya kembali berdering. Lagi-lagi nama sang bos yang tertera di layar ponselnya.
"Apa lagi, pak?" tanya Elina dengan penuh penekanan karena emosinya sudah sampai ubun-ubun dan siap meledak kapan saja.
"Saya lupa, kamu jangan lupa reservasi untuk makan siang besok untuk 5 orang."
Elina mengembuskan napas kesal. Bagaimana bisa dia melakukan reservasi di jam seperti ini? Mau tak mau dia harus melakukannya besok pagi. "Baik, pak."
Elina menutup sambungan telepon itu. Buru-buru dia menuliskan pada catatannya agar tak lupa melakukan reservasi untuk makan siang. Gawat jika dia sampai kelupaan besok.
Elina menguap saat rasa kantuk semakin memeluknya erat. Dia terlalu lelah di hari Minggu karena fokus memberi self-reward atas bertahannya dia di kantor itu. Memang gajinya cukup bagus dan dengan posisinya, dia cukup terlihat keren. Perlahan dia juga menabung untuk mewujudkan impiannya membuka sebuah toko kue.