"Kamu sih, harusnya nikah. Tuh, Dina temen SD kamu aja udah hamil."
Entah sudah berapa ratus kali Elina mendengar suruhan yang sama. Mungkin, sudah lebih dari 100 kali dalam kurun waktu 1 tahun. Dibandingkan dengan si A. Dibandingkan dengan si B. Bahkan Elina sampai hapal setiap nama yang biasa disebutkan sang ibu. Ayolah, pernikahan bukan sebuah perlombaan. Toh, Elina juga tak tertarik untuk mengikuti standar masyarakat yang satu itu. Menurutnya, tetap sendiri malah memberi peluang besar untuk mengembangkan diri. Tentunya juga mengembangkan isi rekening. Dia lebih terobsesi menambah digit pada rekeningnya dari pada menambah beban pikiran dengan menjalin hubungan.
Memang banyak yang mengatakan nikah muda itu cukup menyenangkan. Bahkan, dari beberapa cerita yang di dengar langsung di telinganya, sebagian besar dari mereka bahagia karena setelah menikah seluruh biaya hidup mereka ada yang menanggung. Namun, Elina malah berpikir jika itu membuat seluruh perjuangannya mendapat gelar di belakang namanya, sia-sia. Belum lagi dia juga harus berjuang selama setahun untuk bekerja sebelum melanjutkan studinya. Bagaimana bisa dia dengan mudah melepas segalanya begitu saja? Apalagi, suaminya masih berpeluang selingkuh. Bahkan dia melihat contohnya di depan mata.
"Kamu nanti kalo cari suami tuh yang ganteng, yang soleh, yang punya jabatan. Kemaren si Indah tuh temen SMP kamu. Suaminya pulang-pulang langsung beliin sawah 2 hektar."
"Mama kangen sama El atau mau ngomongin hot news di rumah sih?"
Suara tawa mulai terdengar dari seberang sana. "Kamu sih, dikenalin sama anak pak Kades gak mau. Padahal dia memenuhi kriteria."
Elina bisa mengerti mengapa sang ibu terus mendorongnya untuk segera menikah. Apalagi, lingkungannya yang masih memiliki pikiran zaman dulu. Bahkan, saat Elina merantau untuk kuliah pun, dia sempat menjadi perbincangan dan banyak dari mereka mengatakan percuma dia bersekolah tinggi karena ujung-ujungnya dia akan kembali ke dapur atau mengurus pekerjaan rumah. Sekarang, dia jadi bahan omongan karena belum menikah di usianya yang bahkan belun terlalu tua.
"Udah ah. El ngantuk nih, mama jangan lupa kontrol ke dokter. Bandel sih makan mulu yang manis."
"Iya, kamu juga jaga kesehatan ya."
Elina memutus sambungan telepon itu. Telinganya benar-benar terasa terbakar meski mereka hanya bicara selama kurang lebih setengah jam. Membicarakan soal pernikahan memang selalu saja tak ada habisnya. Apa menjadi jomlo seumur hidup adalah kesalahan? Padahal Elina merasa bisa hidup sendiri. Dia bisa mencukupi kebutuhannya bahkan kebutuhan sang ibu. Satu lagi, dia yakin jika menikah, dia takkan sebebas sekarang termasuk soal pekerjaan. Dia merasa gelarnya wajib dimanfaatkan.
Suara dering ponsel membuat Elina terpaksa harus membuka mata meski baru beberapa saat terpejam. Astaga! Siapa yang dengan tak sopan menghubungi Elina di jam segini?
"Apa lagi? Bapak gak liat ini jam berapa? Ini ngelanggar UU tenaga kerja loh, pak. Saya bisa lapor," cerocos Elina yang kadung kesal atas sikap seenaknya dari sang bos.
"Eum ... Ini di luar kerjaan. Saya bakal kasih bonus, tapi ... Kamu tau gak caranya bikin sup ayam? Saya udah 10 kali ngulang tetep gak enak."
Elina terduduk sembari memijat dahinya. "Untuk apa ada internet, bapak Sean?"
"Saya juga ngikutin internet tapi hasilnya tetep sama."
"Ya terus saya harus jelasin caranya? Gak mau, saya ngantuk."