Elina mengacak rambutnya juga meniupnya kesal. Baru saja dia bahagia dan merencanakan apa yang akan dia lakukan hari ini untuk menghabiskan waktu. Namun, baru juga menunjukkan pukul 9, Sean sudah menghubunginya sebanyak 5 kali. Entah soal letak proposal, hingga letak dokumen-dokumen yang bahkan diletakkan sendiri oleh Sean.
"Kebayang banget gue nikah terus ketemu suami modelan Sean. Jadi cowok harusnya mandiri gak sih?" gerutu Elina yang bahkan tak sadar jika sambungan teleponnya dengan Sean masih belum terputus.
"Apa kamu bilang?"
Elina membulatkan mata sembari melirik ponselnya. Ternyata sambungan teleponnya belum terputus. Bisa-bisa dia kehilangan pekerjaan yang dia dapatkan susah-susah itu. Ya! Karena perusahaan Sean satu-satunya yang menerimanya. Sisanya? Jangan tanya. Elina hanya sampai ke tahap interview. Entah karena kualifikasinya yang kurang cocok karena baru lulus, atau permainan yang tak dia ketahui.
"Saya cuma lupa karena sibuk bikin produk baru."
"M-maaf. Anggap aja omongan saya tadi gak ada ya, please. Saya belum siap jadi pengangguran."
Beberapa saat tak terdengar suara apa pun. Entah bentakan atau apa pun. Dia sama sekali tak mendengarnya. "Halo? pak? pak Sean?"
Rasa panik itu makin menjadi saat Sean menutup telepon begitu saja. Ini sungguh akan membuat Elina dalam masalah. Apalagi, Sean punya suasana hati yang selalu buruk. Bagaimana jika kali ini dia langsung dipecat tanpa penjelasan?
"Ya masa gue harus ke kantor sekarang?" Elina kembali mengacak rambutnya. Meski harus menghadapi sikap menyebalkan Sean, dia cukup mencintai pekerjaannya. Memang tak sepenuhnya linear dengan studi yang dia tempuh. Namun, selama 1 tahun ini dia belajar banyak hal karena posisinya dan menurutnya pengalaman lebih berharga dari uang. Meskipun, dia tetap realistis soal uang.
Suara notifikasi hampir membuat jantungnya copot. Dengan degup jantung yang tak keruan, dia berusaha untuk bersikap biasa untuk membuka surel yang baru dia terima dari Sean. Namun, dia melempar benda pipih itu ke kasur karena merasa tak sanggup membukanya. Bagaimana jika itu adalah surat pemecatan untuknya? Atau sebuah surat peringatan? Dia semakin takut membukanya.
"Yok bisa yok. Lo harusnya gak takut, El. Lo udah punya tabungan," gumamnya meski degup jantung itu semakin kencang saja. Sepertinya, tubuh Elina benar-benar tak bisa berbohong.
Elina mengerutkan dahi saat yang dikirimkan Sean malah draft rapat. Serta, resep yang katanya harus diantarkan oleh Elina kepada tim produksi. Ini tak sama seperti yang dia bayangkan.
Monster Sean
[ Saya bukan gak mandiri]
[Itu biar kamu ada kerjaan]
Isi pesan yang baru saja dia terima sungguh menggelitik. Bahkan, itu sukses membuat Elina tertawa di tengah rasa panik juga overthinking-nya soal nasibnya ke depannya bagaimana. Memang Sean selalu punya sisi absurd yang membuat Elina semakin berpikir kalau Sean memang orang aneh.
***
Elina menyapa setiap karyawan yang berpapasan dengannya. Hari ini dia sudah kembali masuk. Padahal, kemarin juga dia tak sepenuhnya libur karena Sean yang terus menghubunginya meski untuk hal-hal kecil. Namun, dari beberapa film yang dia tonton, semua pria memang begitu. Mereka cenderung lupa jika meletakkan sesuatu. Setidaknya itu yang dia lihat dari beberapa drama-drama bertema keluarga yang berujung sebuah perselingkuhan. Alur film yang mudah ditebak.