Deal, ya!

Salwaa Roudlootul
Chapter #6

#6 Calon

Elima berhalan gontai menuju unit apartemennya. Hari sudah gelap dan beruntung jalanan seakan sedang berpihak padanya. Dia tak perlu menghadapi kemacetan yang biasanya harus dia hadapi tiap kali ke lokasi pabrik yang baru.

"Astaga! Ih, Mama ngagetin sumpah!" Elina hampir saja melempar tas yang baru saja dia beli minggu lalu saat mendapati seseorang berdiri di dekat jendela. Lagian, dia tak habis pikir mengapa sang ibu tak menyalakan lampu? "Mam, kenapa gak nyalain lampu sih?"

"Mama gak kuat liat apartemen kamu, berantakannya bikin jantung mama dug dag dig dug sampe mau copot."

"El belum sempet beres-beres. Kamar doang kok," ujar Elina sembari menyalakan lampu. Menurutnya tak terlalu buruk. Meskipun memang beberapa barang berada tidak pada tempatnya. "Lagian mama ke sini kok gak bilang dulu."

Elina memunguti pakaiannya yang berserakan. Dia hanya lupa di mana baju yang akan dia kenakan. Apalagi, Sean punya aturan seperti sekolah. Dia mau tak mau harus mengikuti aturan warna sesuai hari.

"Ya kalo bilang-bilang gak akan liat seberantakan apa apartemen kamu ini. Nanti dapet suami brewokan tau rasa."

"Mama masih aja percaya gituan. Lagian gapapa brewokan juga. Asal sekelas Jackson Wang. Nanti El cukurin sampe bersih," ujar Elina sembari menggantung setiap pakaiannya di lemari. Lagi pula, dia tak punya waktu untuk merapikan segalanya. Apalagi, terkadang Sean memberikannya tugas tambahan di luar jam kerja yang membuatnya terpaksa tidur di sofa.

"Kamu itu gimana nanti kalo punya suami?" Sang ibu ikut turut tangan, merapikan beberapa benda yang tak seharusnya ada di lantai. Bahkan, wadah-wadah bekas makanan cepat saji pun masih ada di sana.

"Lagian El gak pernah bilang mau punya suami 'kan?" tanya Elina sembari merapikan piring-piring yang tadi pagi dia jajarkan karena berpikir bisa menyiapkan sarapan dan bekal makan siang. Namun, sayang sekali dia sudah telanjur terlambat hingga akhirnya piring-piring itu dibiarkan begitu saja.

"Hush, ngomongnya itu sembarangan banget."

"Ma, El bisa kok hidup sendirian. Kan masih ada mama." Elina merangkul lengan sang ibu sembari tersenyum. Apa semua orang memang harus menikah? Elina malah merasa menikah malah akan menambah masalah dalam hidupnya.

"Gimana kalo mama gak ada? Nanti kamu sendirian, El."

"Tuh, mama juga ngomongnya sembarangan."

"Kamu sih, ketimbang nikah doang susah banget. Nih, kamu mau nikah pas jadi perawan tua?" oceh sang ibu sembari kembali merapikan ruang tamu dari apartemen putri kesayangannya. "El, kamu udah 24 taun loh."

"Baru 24 taun, ma. Temen-temennya El aja belum pada nikah. Bahkan ada yang nikah umur 28 gapapa tuh," elak Elina. Toh, contoh kegagalan yang ada di depan matanya benar-benar membuat Elina berpikir ratusan kali untuk menikah. Dia tak mau mendapatkan karma dari sang ayah yang dengan sangat tega jatuh cinta pada wanita lain.

"Cobain dulu, kenalan sama Damar. Siapa tau cocok."

"Ma, please. Kalaupun El mau nikah, El bakal pilih cowoknya sendiri," ujar Elina. Sungguh, dia berharap ini akan membuat sang ibu berhenti menyuruhnya menikah. Dia bahkan tak sekesepian itu. Haruskah dia menikah?

Lihat selengkapnya