Deal, ya!

Salwaa Roudlootul
Chapter #8

#8 Usaha Keras

Suasana meja makan itu sangat dingin. Tak ada satu pun orang membuka suara. Ini sungguh tak bisa dikatakan sebagai sebuah makan malam keluarga. Malah terasa seperti mereka tak saling kenal. Benar-benar suasana yang cukup dingin.

"Sean gak mau bagi apa pun," ujar Sean. Nampaknya dia sudah tak tahan menahan segala kepura-puraan yang dia tunjukan. Bukan apa-apa, dia sudah tahu apa tujuan mereka datang dengan iming-iming makan malam bersama. Apa lagi jika bukan karena perusahaannya yang kini mulai berkembang?

"Gini, tanah yang kamu pake buat bangun pabrik itu warisannya mama."

Sean memutar malas matanya. Entah sampai kapan pembahasan soal uang ini berakhir. Dia sebenarnya tak keberatan jika harus memberikan uang pada orang tua atau sang kakak. Namun, selama ini Bian selalu kabur dengan sejumlah uang hasil kebohongannya. Bagaimana Sean bisa percaya pada Bian? Apalagi, selama ini Bian selalu gagal membangun usaha karena memang sifatnya. Bian cenderung menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Entah untuk bersenang-senang atau memuaskan diri dengan hal-hal tak penting. Itulah mengapa, Sean tak mau jika harus membagi atau mempekerjakan Bian di perusahaannya.

"Atau gini deh, biarin kakak kamu kerja sama kamu. Dia udah nganggur lama."

Sean menghela napas. Dia bahkan sampai meletakan alat makannya dan beranjak dibanding harus mendengar kalimat bujuk rayu yang dilontarkan oleh kedua orang tuanya. Dia masih marah dan kesal atas apa yang dia rasakan selama ini. Siapa yang terima tumbuh tanpa sosok orang tua? Beruntung Sean mendapat kasih sayang yang cukup dari sang nenek. Itu sebabnya, dulu dia berjuang keras hingga memilih menahan berbagai keinginannya demi balas dendam pada kedua orang tuanya lewat prestasi dan kesuksesan. Namun, bukannya rasa bangga, kedua orang tuanya tetap mengutamakan sang kakak. Wajar, bukan, bila Sean merasa sakit hati?

Sean mengurung diri di kamar. Dia menghiraukan ketukan pintu dan sang nenek yang terus memanggil. Dia juga ingin merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Itu sebabnya dia selalu setuju bila kedua orang tuanya mengajaknya untuk sekadar makan siang atau makan malam karena berpikir dia akan bisa bicara banyak dengan mereka. Ternyata tidak.

Sean melirik ponselnya. Dia membuka kontak di ponselnya dan berhenti pada nama Elina. Belakangan nama wanita itu memang selalu terlintas di berbagai kesempatan. Bahkan dia tak mengerti mengapa suara Elina juga mampu menghilangkan berbagai perasaan negatif dalam dirinya. Mungkin karena dia terlalu kesepian. Apalagi, selama ini dia tak pernah punya seseorang yang mampu mendengarkan setiap keluhnya. Neneknya? Tekadang sang nenek malah tak mengerti dengan apa yang dia ceritakan.

Sean menggeleng saat ingatan soal siang tadi muncul di kepalanya. Oh astaga! Apa yang sekarang Sean pikirkan? "Gue kayaknya terlalu gak normal sampe dipegang tangan aja kebayang-bayang."

Sean memilih mematikan lampu kemudian menyelimuti dirinya. Masa bodoh dengan kedua orang tua dan sang kakak. Dia malas mendengar lagi soal bagian yang sudah jelas tak jadi hak mereka.

***

Tak ada hari yang lebih indah dibanding akhir pekan. Bahkan, Elina bisa bangun lebih siang dan menikmati waktu tidurnya dengan maksimal.

Sembari menguap, wanita yang masih berbalut baju tidur berwarna merah muda itu berjalan menuju dapur kemudian memanaskan air. Sembari menunggu, dia juga mengoleskan mentega pada 2 keping roti sebelum memanggangnya. Pagi yang tenang, bukan?

Lihat selengkapnya