Elina mengernyit sembari menjauhkan ponselnya dari telinga. Dia juga segera memasang senyum canggung sembari meminta maaf karena suara sang ibu terdengar keras. Saat ini dia sedang ada di dalam bus. Mobil? Fasilitas itu hanya bisa dia nikmati saat menggantikan Sean dalam beberapa meeting. Di luar itu, dia kembali menjadi karyawan biasa yang lebih memilih angkutan umum agar uangnya bisa lebih banyak disimpan.
"Ma, pelan-pelan bisa gak sih? El lagi di jalan," ujar Elina sembari menuruni bus tersebut saat berhenti di halte yang berdekatan dengan kantor tempatnya bekerja.
"Kamu sih, kenapa coba gak dikenalin ke mama?"
Masih dengan ponsel menempel di telinga, Elina men-tap kartu pengenalnya untuk membuka pintu kemudian bergegas menuju depan lift. Dia menghela napas kala pintu lift sudah lebih dulu tertutup sebelum dia tiba.
"Ma, nanti El telepon lagi ya."
"Gamau sebelum kamu kenalin cowok yang kata Damar pacar kamu itu."
Elina memutar malas matanya. Dia sudah sangat yakin Sean akan menolak keras ajakannya nanti. Dia merutuki diri karena memikirkan sebuah cara yang malah membuatnya makin terjebak dalam situasi yang tak dia inginkan. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Bilang pada sang ibu sudah putus? Itu malah akan membuat Damar semakin mengejarnya. Lalu jika mengiyakan permintaan sang ibu? Itu malah ide yang sangat buruk. Sean sangat kejam. Mana mungkin mau membantunya yang notabene bukan siapa-siapa.
Jantung Elina serasa copot saat Sean tiba-tiba muncul saat pintu liftnya akan tertutup. Dia mulai merapikan rambut sembari memikirkan cara untuk mengajak Sean untuk bertemu ibunya. Bahkan, dia sampai mengacak rambutnya saat menemukan kebuntuan.
Sean yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengerutkan dahi. Dia memilih untuk tak mencari tahu apa masalah yang membuat wanita mungil di sampingnya seperti depresi. Lagi pula, itu bukan urusannya selama tak mengganggu pekerjaan.
Elina berdecak. Masa bodoh dengan harga dirinya atau apa. Dia lebih baik malu detik ini daripada harus menikah dengan Damar dan merasakan penderitaan seumur hidup. Bisa-bisanya gendang telinganya pecah mendengar setiap bualan yang keluar dari mulut pria itu.
"Pak ...." Kalimatnya belum selesai karena tiba-tiba pintu lift sudah terbuka. Mana mungkin dia meminta bantuan Sean di lantai tempatnya bekerja. Yang ada dia semakin menjadi bahan omongan.
"Kenapa?" tanya Sean dengan wajah datar juga nada dinginnya yang sudah sedingin antartika.
Elina tersenyum canggung kemudian menggeleng. "Gak jadi, pak."
Sean hanya memutar malas matanya kemudian berjalan menuju ruangannya. Suasana hatinya sedang begitu buruk sekarang. Memang, respon terhadap produk barunya cukup bagus. Namun, dia lebih pusing dengan keluarganya yang terus meminta bagian dari hasil keringatnya. Dia sebenarnya tak keberatan memberikan sedikit uang, tetapi untuk memberikan posisi tinggi di perusahaannya pada Bian, jelas-jelas dia takkan mau.
"Masuk," ujar Sean setelah mendengar suara ketukan. Dia mengerutkan dahi saat Elina malah menutup tirai ruangannya.
"Pak, saya butuh sedikit bantuan bapak."
"Kok sampe gitu? Kamu ...." Sean membulatkan mata kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada. "Saya gak bisa."
Elina memukul pelan dahinya. Dia tentu tahu ke arah mana pikiran Sean saat ini. Namun, demi harga dirinya, dia tak mau orang kantor tahu. "Gak gitu pak."