Elina mengacak rambutnya. Seharusnya dia sudah memejamkan mata karena dia harus bangun lebih pagi. Namun, sampai saat ini dia tak kunjung bisa mengistirahatkan diri. Ucapan nenek Sean sungguh membuat Elina merasa skenario apa pun yang ada di otaknya, takkan bisa dia realisasikan. Mau bagaimana pun, dia tak mau menyakiti hati nenek Sean karena dari yang dia tuturkan, Sean benar-benar cucu terbaik. Bagaimana dia bisa mengatakan Sean berselingkuh demi mengakhiri ini? Apa harus dia yang berselingkuh? Astaga! Itu malah akan merusak reputasinya.
Elina meraih ponselnya, menuliskan pesan singkat agar Sean juga berkontribusi untuk menghentikan skenario ini. Memang, ini semua karena dirinya. Namun, kerunyaman yang ada malah disebabkan oleh Sean. Kalau saja pria itu tak membawa neneknya, mungkin segalanya takkan serumit sekarang.
"Dia emang selalu seenaknya," gumam Elina sembari meletakkan ponsel. Dia sama sekali tak mengharap balasan saat itu juga karena tahu Sean pasti sedang tidur. Siapa yang masih membuka mata jam segini?
***
Beruntung Elina tak bangun terlambat. Jadi, dia tak perlu merasakan se-chaos apa dunia di jam 7 pagi. Dia bahkan datang lebih awal ke kantor meski dengan wajah yang terlihat kelelahan karena jam tidurnya sangat kurang.
Elina menutup mulutnya yang terbuka karena rasa kantuk. Wajar, dia kurang tidur dan sudah tiba di kantor sebelum yang lain.
"Wis, néng El rajin amat," sapa Anton, office boy di kantor tersebut. Dengan sebuah ember dan alat pel, sudah jelas apa yang akan dilakukan oleh pria itu.
"Oh iya nih, saya takut telat," balas Elina disambung dengan senyum. Dia kemudian menatap angka pada lift, berdecak sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali menekan tombolnya agar lift bisa segera terbuka. Namun, seseorang kebetulan juga menekan tombol tersebut bersama dengannya.
Suasana canggung kini menyelimuti. Bak sepasang orang asing, keduanya memilih sama-sama diam. Elina yang masih malu karena meminta bantuan Sean, serta Sean yang nampaknya sama-sama malu telah ikut andil dalam kekacauan semalam. Dia juga sebenarnya tak menyangka sang nenek dan ibunya Elina tiba-tiba merencanakan pertemuan kedua untuk membahas keseriusan hubungan mereka.
"Bapak harus tanggung jawab."
Sean mengerutkan dahi. Memang, dia terlibat dalam kerumitan situasi saat ini. Namun, dia merasa bukan sepenuhnya salahnya. Dia hanya mencoba untuk memanfaatkan situasi karena mana mungkin Elina mau diundang ke rumahnya hanya untuk bertemu sang nenek. Apa itu salah?
"Itu salah kamu sendiri."
Elina hampir saja mencakar wajah Sean. Pria itu memang sempurna dengan segala hal yang dia punya. Namun, minusnya Sean tak punya hati nurani. Bahkan dalam situasi seperti ini, Sean masih menyalahkannya.
"Kalo aja bapak gak bawa nenek bapak, semua masalah saya selesai. Saya bisa bilang kalo kita putus pas ditanyain soal nikah. Terus bapak malah nambah masalah saya."
"Ya itu urusan kamu."
"Gak mau tau, pokonya bapak harus tanggung jawab. Ba–" Ucapan Elina terhenti kala menyadari pintu lift sudah terbuka dan Mira berdiri di sana sembari menutup mulutnya tak percaya. Apa ini akan jadi masalah baru lagi untuk Elina?
Sean hanya mengangkat kedua bahunya, melangkah lebih dulu dan tak peduli soal Mira yang ada di sana. Dia hanya merasa bersyukur karena Mira menyelamatkannya dari ocehan Elina pagi ini.