Elina membanting tubuhnya di atas ranjang. Hari ini menurutnya terasa lebih melelahkan. Mungkin karena asam lambungnya naik sehingga hampir seharian dia merasa tak nyaman. Ditambah dengan gosip yang malah dipercayai seluruh karyawan. Dia sampai bingung harus membuat klarifikasi seperti apa. Haruskah dia membuat pesan broadcast di grup perusahaan? Itu hal yang cukup konyol karena semua orang takkan percaya. Sama seperti saat dia menjelaskan secara langsung sampai rasanya mulutnya berbusa.
Elina meraih ponselnya. Dia segera menghela napas saat melihat nama sang ibu muncul di layar ponselnya. Namun, karena tahu tujuan utama sang ibu menghubunginya, dia memilih untuk segera menolaknya. Bukan karena dia tak merindukan sang ibu. Dia hanya tak mau asam lambungnya kembali parah seperti tadi jika mendengar ocehan sang ibu soal pernikahan. Oh ayolah, tak lucu jika pagi nanti muncuk headline 'Seorang wanita ditemukan tak sadarkan diri di unit apartemennya diduga karena pembicaraan soal pernikahan' benar-benar tak masuk akal. Bahkan ini sampai membuat Elina bergidik.
Elina beranjak. Meski lelah, dia tetap harus membersihkan dirinya 'kan? Namun, baru saja meraih handuk, ponselnya sudah kembali bersuara dan membuatnya harus kembali ke arah ranjang.
"Apa sih?" Elina menolak telepon yang baru saja masuk ke ponselnya. Kali ini bukan sang ibu, tapi Sean. Dia sudah berkompromi agar Sean tak menghubunginya di luar jam kerja. Namun, yang dilakukan Sean sekarang benar-benar di luar perjanjian. Meski itu bukan perjanjian yang tertulis, tapi seharusnya itu tetap terhitung sebagai perjanjian 'kan?
Elina mengubah mode ponselnya menjadi mode jangan ganggu. Hanya dengan begitu dia bisa merasakan ketenangan sebentar saja meski dengan kepala yang terus saja berisik. Dia terus memikirkan banyak hal termasuk soal apa yang perlu dia lakukan untuk terlepas dari Sean. Resign? Oh, itu bukan pilihan yang tepat menurutnya. Kemudian, itu tak menjamin gosipnya menghilang atau permintaan sang ibu agar dia secepatnya menikah juga ikut hilang. Dia juga belum tentu mendapat posisi yang gajinya lumayan tinggi jika memilih mengundurkan diri.
"Sekarang segalanya emang udah terlalu serba salah."
***
Beberapa hari Elina merasa panas telinga. Beberapa kali dia harus tahan dengan beragam pertanyaan entah soal pernikahan yang tak pernah terjadi antara dirinya dan Sean. Hingga soal bayi yang jelas-jelas keberadaannya tak ada. Padahal, berulang kali dia menjelaskan hubungannya dengan Sean sebatas atasan dan karyawan. Namun, mereka semua tak percaya dan malah mengucapkan selamat. Benar-benar menyebalkan, bukan?
Tak hanya dari sesama rekan kerja. Telinganya lebih panas saat Sean sering membicarakan soal kontrak yang tak masuk akal. Bagaimana tidak? Sudah seperti aturan minum obat, Sean terus menyodorkan kontrak itu. Elina memang tak berencana menikah dengan siapa pun dan itu bisa jadi peluang besar untuknya agar tak perlu repot-repot menikah. Namun, dengan kontrak itu mau tak mau dia harus terus bersama Sean dan memainkan drama suami istri sampai kontrak itu berakhir.
"10 juta sebulan," ujar Sean sembari memberikan dokumen perjanjian itu. Elina hanya menanggapinya dengan helaan napas.
"Pak, bisa gak sih sehari aja bikin saya tenang?"
"Kamu sih diajak kerja sama susah banget."