"Pacaran sama gue yuk, Sar!”
Sara melongo. Mulutnya terbuka beberapa saat. Sungguh, dia blank. Mendadak kinerja otaknya melambat gara-gara ucapan Sam yang tiba-tiba. Sara bukan tak mengenal Sam, dia tahu, tapi tak cukup akrab. Beda kasta pergaulan. Sam itu termasuk murid populer di sekolah, hampir seluruh penghuni sekolah mengenalnya sedangkan Sara hanya seorang murid biasa. Kebetulan saja tahun ini mereka sekelas sehingga sering terlibat obrolan bersama. Tapi, itu biasanya soal tugas atau pelajaran. Bukan seperti sekarang.
“Aelah malah bengong, nih, orang!” Sam menggeleng geli. “Udah, kita pacaran, ya, mulai sekarang. Tenang aja, lo nggak bakal rugi, kok, pacaran sama gue. Dijamin bahagia dan menyenangkan.”
Sara mendengus seketika. Narsis, huh!
“Apaan sih, Sam? Bercandaan lo nggak lucu, tahu!” Sara menggerutu dengan bibir mencebik kesal. Terang saja dia sangsi, karena Sam tiba-tiba mendatanginya, lalu mengajaknya pacaran. Ck, dikira pacaran kayak beli barang!
“Siapa yang bercanda? Gue serius, tahu, Sar.”
Kening Sara mengerut. “Maksud lo?”
“Lo jomlo. Gue juga jomlo ….” Bibir Sara mencibir saat Sam menyebut dirinya jomlo. Sam boleh jadi jomlo, tapi cewek-cewek di lingkarannya itu tak terhitung. Kepopulerannya memang membuat banyak siswi sekolah menyukainya.
“Dua jomlo beda jenis bersatu, kan, nggak ada salahnya pacaran,” sambung Sam yang kontan beroleh delikan Sara.
“Lo kesambet apaan, sih, Sam? Sinting, ah!” cela Sara kemudian.
Alih-alih tersinggung, Sam justru tertawa. “Ya ampun, Sar. Kalau cewek lain banyak yang ngantre mau jadi cewek gue, eh, lo malah nolak. Rugi, tahu!”
Sara mendesis. “Lah, itu yang ngantre banyak, ngapain nawarin gue? Nggak minat!”
“Oh, ya?” Sam tersenyum miring. Perlahan Sam mencondongkan wajahnya pada Sara. Kontan Sara berjengit mundur, tapi tembok di belakang menahannya.
“S—SAM, APAAN, SIH!” bentak Sara gugup. Wajahnya memerah seketika dan detik selanjutnya dia merasa degup jantung tak seperti biasa. Terasa lebih kencang.
Tawa Sam kembali pecah. “Lo ini lucu emang, Sar!” katanya sembari menarik mundur wajahnya sehingga Sara bisa bernapas lega. Sungguh, Sara belum pernah sedekat ini dengan laki-laki.
“Gue tadi nggak sengaja dengar obrolan lo sama teman-teman lo di kantin, Sar.”
Sara mengernyit. “Obrolan yang man ….” Ucapan Sara terhenti seketika karena dia mengingat dengan baik maksud kata-kata Sam. Obrolan yang itu pasti, gumamnya dalam hati dengan mata terbeliak.
Astaga, itu bukan obrolan yang pantas didengar. Apalagi oleh seorang cowok.
“E-lo dengar?” Kekagetan jelas tak dapat disembunyikan di wajah Sara. Bagaimana bisa Sam mendengar obrolan itu.
Ya Tuhan, mau ditaruh di mana mukanya?
Anggukan kepala Sam seketika membuat tubuh Sara melemas. Beruntung dia masih duduk di bangkunya, jadi masih bisa menjaga dirinya.
“Udah ah, biasa aja, nggak usah shock gitu!” Sam tersenyum lebar. “Santai aja kali, Sar! Kan, bukan aib juga kalau jomlo.”
Sara mendelik seketika. Bukan masalah jomlonya, tetapi lebih pada isi percakapan antara dia dan teman-temannya yang lebih menjurus ke ajang taruhan. Dan, sejujurnya Sara tak suka fakta itu diketahui oleh orang lain. Terkesan dirinya bukan cewek baik-baik.
Tapi, tunggu!
Jika Sam mendengar obrolan itu, bukankah sama saja dengan dia menguping?
Sara pun gusar seketika. Sejenak dihelanya napas dalam-dalam. Biar bagaimanapun semuanya harus dibicarakan baik-baik, Sar! dia memperingatkan dalam hati. Jangan larut dalam emosi!
“Lo nguping?”
Sam menggeleng. “Nggak sengaja, Sar. Kan, gue duduk pas di belakang geng lo!”
Kedua alis Sara bertaut. Dia sedikit tak nyaman dengan sebutan geng. Miya, Joy, dan Enzi adalah sahabat baginya. Mereka saling kenal sejak kali pertama duduk di kelas X dan meskipun kini mereka telah duduk di kelas XII—terpisah kelas karena penjurusan—tak pula membuat keempatnya kehilangan waktu untuk tetap sering berkumpul bersama.
“Kami bukan geng,” jelas Sara pendek.
Sam tersenyum. Bahunya mengedik. “Terserah, deh, apaan. Cuma, yang pasti gue dengar nggak sengaja aja, Sar.”