Sara menghela napas dalam-dalam saat laju mobil Nara berhenti di sebuah rumah bergaya klasik modern. Hari ini hari pertamanya memulai aktivitas mengajar privat. Pengalaman yang benar-benar baru untuknya. Meski sebenarnya sudah tak sabar, tetap saja dia dilanda gugup. Bayangan anak nakal nan bandel yang sulit diatur melintas di benaknya. Sara bergidik membayangkan jika nanti dirinya yang dikerjai anak tersebut.
“Nggak usah mikir aneh-aneh, Sar!”
Sara meringis. Nara terkekeh melihatnya. “Dimas baik, kok, anaknya,” ujarnya kemudian. “Bandel-bandel dikit wajarlah.”
“Emang Kak Nara pernah ketemu?”
“Belum. Tapi, kan, Dirga muridnya Marina. Jadi, Marina seringlah ketemu Dimas juga.”
“Dirga?”
“Kakaknya Dimas.”
“Oh.” Mulut Sara membulat. Dia mengenal Marina sebagai sahabat kakaknya sekaligus partner dalam usaha jasa privat yang mereka kelola.
“Ya udah, yuk turun!”
Tak lama kemudian, keduanya pun sudah berada di ruang tamu rumah Dimas, calon murid Sara. Keduanya diterima baik oleh seorang wanita yang kemudian Sara ketahui sebagai ibunda Dimas.
“Dimas itu sebenarnya pintar, tapi manja, Mbak Sara. Makanya, daripada kolokan kalau belajar sama saya, mending saya lesin aja. Lagi pula ini juga mau anaknya.”
Sara tersenyum mendengarkan. Dalam hati dia mencatat semua yang dikatakan ibu Dimas tentang anaknya. Setidaknya, dia tahu bagaimana nantinya berhadapan dengan Dimas.
“Pokoknya, terserah Mbak Sara aja gimana baiknya. Kalau waktunya harus ditegur, ya ditegur aja. Jangan sungkan, ya, Mbak.”
Sara mengangguk canggung. “Iya, Bu. Oh, ya, untuk jadwal gimana, Bu, jadinya?”
“Nanti langsung tanya ke Dimas aja, Mbak,” jawab ibu Dimas yang kontan mengerutkan kening Sara. “Maksud saya biar dia belajar tanggung jawab. Jadi, dia nggak bisa mangkir dari les juga.”
Sejurus kemudian, Sara manggut-manggut. Kini dia paham maksud ibu Dimas. Tanggung jawab memang harus diajarkan sedari dini. Meski masih kecil, anak tak melulu mengikuti kemauan orangtua. Harus belajar hidup mandiri dan bertanggung jawab.
“Omong-omong, Dimas mana, Bu?” tanya Nara. Sara pun sebenarnya sudah tak sabar bertemu calon muridnya, tapi dia menahan diri.
“Ada di atas. Kedatangan abang sepupunya, Mbak Nara. Biasa, anak cowok kalau udah main PS, haduh! Lupa waktu.” Ibu Dimas menggeleng beberapa kali. “Tapi, tadi saya udah bilang, kok, jam 4.00 mau ada guru lesnya yang datang.”
Sara melirik jam yang berada di dinding. Masih kurang lima menit lagi ternyata, gumamnya dalam hati. Sabar….
“Tunggu aja ya, Mbak!” ujar ibu Dimas lagi.” Eh, silakan tehnya diminum dulu aja, Mbak-Mbak.”
Sara tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian, dia mengambil secangkir teh yang memang sudah disajikan sejak tadi.
“Itu kakak sepupunya Dimas yang datang, yang anaknya Bu Lilian bukan, Bu?”
“Iya. Lho, Mbak Nara kenal, toh?”
“Lah, kan murid saya, Bu.”
“Oh, iya, ya. Saya, kan, dapat info les Mbak Nara juga dari Mbak Lilian.”
“Hubungan sama Bu Lilian gimana memangnya, Bu?”
“Mbak Lilian ipar saya, Mbak Nara. Suami kami kakak beradik.”
“Oh, gitu!”
Sara hanya mendengarkan percakapan kakaknya dan ibu Dimas. Dia tak tertarik. Baginya yang penting sekarang segera bertemu dan mengajar Dimas. Sungguh, kegugupan itu masih melandanya.
“Sering ya, Bu, si Sa—”
“TANTE! Aku mau pulang dulu, ya! Mama berisik banget, nih!”
Kata-kata Nara terhenti karena ucapan seseorang yang cukup kencang dari tangga yang menghubungkan ke lantai atas. Kontan ketiga kepala menoleh dan tepat saat sosok yang berseru tiba di ujung tangga, Sara memelotot.
“Ya ampun, Sam kok teriak-teriak, sih! Malu ah, sama tamu Tante,” tegur ibu Dimas kemudian.
Sara mendengus gusar. Di antara sekian banyak rumah, kenapa justru dia kembali bertemu dengan Sam di rumah Dimas. Cowok menyebalkan yang mengganggu ketenangannya di sekolah dua hari ini.
Eh tunggu!
Tadi kalau tak salah tangkap, Dimas kedatangan kakak sepupu dan kebetulan kakak sepupunya murid Kak Nara. Spontan Sara menoleh ke samping. Nara tengah tersenyum dengan kepala menggeleng geli.
“Hai, Sam!”
Mata Sara melebar. Jadi benar, Sam murid Kak Nara?
“Hai, Miss Nara. Eh, kok, ada Sara?” tanya Sam dengan raut bingung sambil mendekat ke sofa ruang tamu. Tak lama dia duduk di sebelah ibu Dimas.
Sara kembali mengalihkan pandangannya. Dia tak perlu bersusah payah menjelaskan karena ibu Dimas sendiri yang menerangkan tentang dirinya.
“Mbak Sara ini guru lesnya Dimas, Sam. Lho, kamu kenal?”
Sara dapat menangkap sedikit keterkejutan di wajah Sam, tetapi tak lama wajah teman sekelasnya itu kembali datar. “Iya, Tan. Sara teman sekelas aku,” jelasnya, kemudian berpaling menatap Nara dan Sara bergantian.