Kenapa kebanyakan orang selalu mengartikan makna senja dengan sesuatu keindahan padalhal fenomena yang di bentuk oleh alam itu hanya sebentar lalu pada akhirnya memberikan rasa kehilangan yang melahirkan sebuah kerinduan. Entahlah kenapa kedua orang tua ku yang hingga saat ini tidak tahu keberadaannya dimana, bersepakat memberikan nama senja dalam pendengaranku, untuk kemudian belajar mengeja bait demi bait kata yang akan melekat disepanjang hidup yang mulai ku tulis narasi ceritanya sependek pendaran senja.
Kenapa harus senja menjadi identitas namaku yang setiap sore harinya ia membungkus kekacauan menjadi satu dalam kemacetan, para pengemudi kendaraan dengan segala sifat egosentris menciptakan rambu-rambu sendiri, hingga sampai kepanikan orang-orang yang menunggu lama jemputan online yang tidak kunjung tiba —karena pengemudinya juga terjebak hiruk-pikuk senja. Hingga sampai tempat kedai-kedai makanan dipinggir jalan yang tak mempunyai cukup lahan parkir untuk pengunjungnya hingga terpaksa bahu jalan sebagai senderan. Semua itu dikemas jadi satu oleh senja. Lalu kapan penghuninya menyibukkan diri pulang kerja sambil memuji senja. Aku bukan satire hanya saja merasa jijik kepada seseorang yang memberi nama lalu membuangku begitu saja, meninggalkan sendirian seorang anak kecil berumur 5 tahun di sebuah taman wahana yang sebelumnya merasa gembira untuk anak seusia itu di ajak bertamasya disana. Seperti senja hanya sejenak lalu keburaman malam tanpa berujung fajar. Senja inginnya ku mengganti nama itu tapi...
"Eja..." panggil dari seorang wanita yang mengenakan kemeja putih bercorak batik salaka negara khas betawi dengan terusan clemek hitam sedangkan lelaki yang dituju masih saja bergeming menatap langit senja yang menggantung pikirannya yang sudah terlanjur sangat jauh terseret awan berombak seolah matahari adalah pusaran yang terus berputar untuk menciptakan spectrum larungkan lembayung dalam tiap kisi-kisi kisah langit hidupnya
"Woy, dikira dimarih rumah eluh kali, lu emang gak mau pulang, apa lu berencana mau menyewa nih loteng ruko jadi kamar lu" sapa wanita itu lagi dengan sedikit nada berteriak dengan khas logat betawinya yang kental
"Ja, yah gw di antepin kaya ngomong ama jelangkung dijawab make gerakan"
"Iya jubaidah gw denger, bawel beud lu ah" jawab Eja sambil mendongakkan kepalanya ke arah teman satu kerjaannya itu di sebuah kedai masakan Betawi di daerah Bintaro
"Elu kenapa dah suka banget tiap sore di mari, nangkring di atas loteng kaya walet"