Ruas jalan di Bintaro seperti biasa, pada sore hari, dipenuhi kemacetan. Fenomena ini seolah sudah menjadi pelengkap kehidupan sosial di kota besar. Wajah-wajah mereka tampak terjajah oleh waktu, berusaha membebaskan diri dari detik-detik yang tak henti menggerakkan mereka, seperti peluru yang patuh pada senapan. Apakah mereka sedang mencari kebebasan atau justru menciptakan kurungan mereka sendiri? Ambigu.
"Kenapa harus lampu lalu lintas yang disalahkan oleh para pengemudi atas kemacetan ini?" komentar Eja, mencoba memecah keheningan setelah mereka meninggalkan kedai.
"Padahal merekalah yang seenaknya menciptakan aturan-aturan sendiri," ucapnya lagi, sementara wanita di sampingnya lebih asyik mengamati lembayung senja daripada mendengarkan ocehannya.
"Itu alasan kenapa kamu malas nyetir?" tanya Eja, mencoba membuat percakapan dua arah.
"Menikmati bagian dari hari yang menciptakan kemacetan ini," jawab wanita itu akhirnya.
"Kamu sendiri tadi bilang para pengemudi yang bikin aturan sembarangan."
"Ya, karena senja memang penyebab semua ini."
"Namamu Senja, kan?" tanya wanita itu dengan lembut.
"Eja," potong Eja cepat, tak ingin nama lengkapnya disebut.
"Haha, aneh," ujar wanita itu, tersenyum kecil.
"Lebih aneh lagi yang menyukai langit senja yang tanpa disedari terperangkap dalam garis transisi masalalu dan esok" jawabnya lagi
"Kau yang harusnya bersahabat dengan masalalu mu Ja"
"Kau pasti akan mengerti bagian dari masalalu yang ku senangi ini"
Eja menghela nafas panjang mencoba membentuk parasnya yang menggambarkan seakan ia tidak suka dengan jawaban wanita itu
"Kapan kau akan berangkat ke Gunung Bromo" Eja mencoba mengalihkan topik