Senja mulai memudar, tetapi kemacetan di depan mereka tak kunjung reda, seperti hidup yang tak pernah menawarkan kepastian kapan bisa bebas dari jeratnya. Di sela-sela deru mesin dan suara klakson yang monoton, sepi merambat di antara mereka. Eja memandang ke luar jendela, seolah mencoba mencari jawaban dari langit yang perlahan berubah gelap.
"Del," ucapnya akhirnya, suaranya sehalus bisikan angin. "Kau pernah merasa hidup ini seperti lingkaran yang tak berujung?"
Dandelion tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, membiarkan kalimat Eja menggantung di udara, sebelum akhirnya menjawab dengan lembut. "Mungkin bukan lingkaran, Ja. Lebih seperti spiral. Kita terus berputar, kadang tersesat, tapi selalu ada gerak, selalu ada jalan menuju sesuatu—meski kita tak tahu apa itu."
Eja tersenyum pahit, menunduk. "Tapi bagaimana jika aku merasa... terjebak? Seolah tak peduli seberapa keras aku melangkah, aku tetap berada di tempat yang sama. Berputar-putar, tanpa arah."
“Ja,” ujar Deli, suaranya kini serupa gemuruh kecil yang mengendap di ujung fajar. “Tak ada yang benar-benar berada di tempat yang sama. Kita semua bergerak, meski perlahan. Bahkan dalam kebingungan, ada gerakan. Bahkan dalam kemacetan, ada sesuatu yang berubah—kita, misalnya.”
“Apa yang berubah?” Eja menatap Deli, matanya suram. “Aku tetap di sini, Del. Berjuang untuk sesuatu yang mungkin tak pernah ada. Mengapa semua terasa sia-sia?”
Deli menoleh, mata mereka bertemu dalam hening. “Sia-sia? Apa betul setiap langkah yang pernah kau ambil, setiap luka yang kau terima, benar-benar sia-sia? Atau mungkin, kita hanya belum sampai pada waktu di mana semua itu masuk akal?”
Eja terdiam. Kata-kata Deli, meski lembut, terasa seperti desiran ombak yang menghantam hatinya. Ia ingin percaya, tapi rasanya hidup telah menipunya berkali-kali. “Kau bicara seolah waktu bisa menyembuhkan segalanya,” gumamnya.
“Bukan waktu yang menyembuhkan,” balas Deli, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tapi kita yang memilih apakah akan mengizinkan waktu itu untuk melakukannya.”