Eja menatap pintu rumahnya yang tertutup rapat, seakan menyimpan semua rahasia dan ketakutan yang menggerogoti dirinya. Langit malam menggelap, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan yang berpendar samar. Perasaannya bergejolak, seperti ombak yang tak kunjung reda. Di dalam hatinya, ada dua suara yang saling beradu: satu berharap dan satu lagi penuh ketakutan.
Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Deli, Eja merasa kosong, seolah ada bagian dari dirinya yang tertinggal di dalam mobil. Suara Deli, dengan segala penghiburan dan harapan yang ia tawarkan, masih bergema di telinganya. Namun, di balik semua itu, ada kejujuran yang belum ia sampaikan. Kejujuran tentang rasa sakit yang tak terlihat dan beban yang tak bisa ia lepaskan.
“Del,” gumamnya pada diri sendiri, “apa kau akan tetap di sini ketika semuanya menjadi lebih sulit?”
Eja melangkah masuk ke rumah, suasana sunyi menanti. Ia menggenggam pergelangan tangan, merasakan denyut nadi yang berdetak tak berirama. Penyakit ini, yang baru saja ia ketahui, seperti bayangan yang mengintai, siap menerkam ketika ia lengah. Rasa takut menyelimuti dirinya, seolah mengikatnya dalam kebingungan.