Di ruang tunggu yang sunyi, Eja duduk seakan menunggu hujan yang tak kunjung tiba. Di sekelilingnya, dinding-dinding yang dingin dihiasi lukisan-lukisan ceria, seolah mengajak jiwa-jiwa yang gelisah untuk melupakan beban hidup. Namun, bagi Eja, keindahan itu hanya memperdalam kesedihan yang mengendap di relung hatinya. Ia menggigit bibir, berusaha menahan getar yang mulai merayapi tenggorokannya.
Ketika namanya dipanggil, Eja berdiri dengan langkah yang terombang-ambing, seperti dedaunan yang terhempas angin. Ruangan dokter adalah labirin kegelapan; aroma antiseptik dan sinar lampu yang redup menciptakan atmosfer yang menekan. Ia duduk di kursi, menatap dokter yang di balik meja seolah memegang nasibnya di antara jari-jari tangan yang gemetar.
“Eja,” suara dokter bergetar, seolah mengangkut seluruh beban dunia. “Setelah serangkaian tes, saya minta maaf. Penyakit ini sudah mencapai stadium akhir.”
Dunia Eja mendadak runtuh, menyisakan serpihan-serpihan harapan yang berserakan di kakinya. Kata-kata itu menampar wajahnya, membuat jiwanya terperosok dalam kegelapan yang tiada akhir. “Stadium akhir,” bisiknya, suaranya tenggelam dalam kesunyian.