Ayah adalah pemilik bahu paling kuat sebagai tempat sandaran keluarga
Ayah adalah panutanku, teman bercerita dan penasihatku.
Ketika Ayah tak banyak bicara, dia sedang berpikir.
Ketika Ayah berbicara serius, dia sedang meminta kejelasan.
Ketika Ayah berbicara banyak dan tegas, dia sedang menuntut.
Ayah selalu saja menuntut.
Menuntut anak lelakinya untuk mandiri.
Karena anak lelaki akan menjadi seorang pemimpin, sepertinya.
(Birendra Sadhana)
🍁🍁🍁
Sejak kejadian sore tadi, Birendra sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Dia mengurung diri di kamar, sibuk merenungi perkataan ayahnya. Benarkah dia bodoh telah mengabaikan nilai terbaik hanya untuk menjadi guru?
Pergulatan dalam pikirannya itu membuat Birendra semakin keras berpikir. Hal itu menyebabkan lambungnya bergejolak. Ada sensasi mual yang sejak tadi ditahan. Belum lagi rasa panas juga nyeri turut menyerang ulu hatinya.
Birendra yang sedang duduk di bibir ranjang, hanya diam dan membungkukkan badannya. Berharap rasa nyeri itu segera hilang, tetapi ternyata dugaannya salah. Nyeri itu semakin hebat hingga akhirnya dia memilih untuk meringkuk di atas ranjang.
Sudah lima belas menit dia bertahan dengan posisinya yang meringkuk. Tepat saat pintu terketuk pelan, lelaki itu merasakan isi lambungnya naik ke kerongkongan. Birendra terduduk dan membekap mulutnya dengan erat.
Ganesh yang sudah membuka pintu melihat adiknya yang baru menurunkan kaki dari ranjang sambil membekap mulut. Dia bergegas menghampiri Birendra dengan segera setelah tubuh sang adik limbung hingga menabrak lemari.
"Hei, pelan-pelan, Bi! Mau ke mana?" tanya Ganesh.
"Hmph ...." Suara tertahan terdengar dari mulut Birendra.
Birendra menegakkan tubuhnya, berusaha melepaskan rengkuhan sang kakak. Dia berjalan terburu-buru ke arah kamar mandi dan dengan keras dia membanting pintu yang tak bersalah itu.
Ganesh menyusulnya segera setelah debam pintu terdengar. Dia berusaha membuka pintu kamar mandi, tetapi sang adik menguncinya.
"Bi ..., buka pintunya!" pinta Ganesh sembari mengetuk pintu dengan keras. Namun, tiada jawaban dari dalam sana. Hanya terdengar suara kran air yang menyala menyamarkan suara adiknya yang sedang muntah.
Ketika hendak mengetuk kembali, suara kran air sudah tak terdengar. Pintu yang tertutup itu akhirnya terbuka. Birendra berdiri di hadapan kakaknya dengan perasaan lega mualnya sudah reda. Meskipun rona pucat masih membalut senyum manisnya.