Jika kenangan diuraikan, apa yang kau dapat?
Pahit, manis, asam, asin, baik dan buruk, semua bersatu.
Tak hanya ada satu rasa untuk membentuk kenangan.
Tak hanya ada satu cerita untuk membentuk kenangan.
Ada banyak kisah dan kejadian untuk terangkai menjadi kenangan.
(Birendra Sadhana)
🍁🍁🍁
Saat istirahat pertama berlangsung, Birendra yang sudah mulai membaik berpamitan kepada Lystia. Tak lupa ucapan terima kasih juga dia lontarkan. Dengan membawa kembali tas ransel berwarna hitam itu, dia melenggang dan menuju ke ruangan Radit.
Birendra menunggu sejenak di luar ruangan karena abangnya sedang berbicara dengan sosok wanita paruh baya. Bila tak salah menebak, wanita itu pasti salah satu wali murid yang mendapat panggilan dari pihak sekolah.
Begitu wanita itu selesai berurusan dengan Radit, Birendra langsung saja masuk tanpa permisi, tanpa dipersilakan pula. Radit yang kaget memundurkan tubuhnya dan memberi jalan untuk saudaranya.
"Kenapa, Bi?" tanya Radit saat melihat saudaranya langsung merebahkan tubuhnya di kursi panjang.
"Pusing, Bang!"
Sebagai guru BK, Radit memang diberi ruangan khusus untuk tempat konsultasi siswa yang sering bermasalah atau membutuhkan bimbingan. Ruangannya ber-AC, dengan satu set kursi seperti layaknya ruang tamu pada umumnya. Dua kursi tunggal dan satu kursi panjang.
"Kamu telat?"
"Bisa jadi, Bang! Soalnya mual-mual terus, nih!"
"Eh ..., kunyuk! Abang serius nanya! Maksudya itu telat datang ke sekolahnya terlambat?"
Birendra hanya mengangguk dan menggunakan lengannya untuk menghalau silau dari lampu ruangan . Tiba-tiba Birendra mendudukkan badannya yang mendadak mual. Dia bergegas mengambil air kemasan dan menandaskan isinya.
"Tadi telat datang, sampai di depan dimintai tolong sama Pak Tjah untuk bantu Bu Lilis buat ngeberesin dan masukkan identitas buku ke dalam data perpustakaan." Birendra mengakhiri dengan helaan napas dan sedikit meringis saat nyeri kembali merambati perutnya, meski tak separah tadi.
"Kok pucat, Bi? Perutnya kenapa?"
"Mag-nya kambuh, Bang! Telat ngisi, jadi protes habis-habisan. Mana protesnya di depan Bu Lilis." Birendra mengusap kasar wajahnya.
"Siapa, Bi?"
"Bu Lilis, Bang!"
"Siapa? Siapa?"
"Bu Lilis! Ish ..., Abang mah sukanya godain!"
Ada suara salam yang mengalihkan perhatian kedua lelaki tersebut. Kompak mereka menoleh ke arah sumber suara. Di pintu yang terbuka, seorang siswa berdiri dengan membawa kantong kresek berwarna putih, berlabelkan nama apotek yang berada di jalan menuju ke sekolah ini.
"Permisi, Pak ..., Bu Lystia meminta saya untuk mengantarkan ini. Katanya untuk Mr. Bi." Siswa itu lantas meletakkan bungkusan yang dibawanya di atas meja. "Saya pamit dulu, permisi."
"Le, bilang sama Bu Lystia, terima kasih dari Mr. Bi. Terima kasih juga untuk kamu yang sudah mau mengantar ke sini," ujar Birendra.
"Wah! Sepertinya sudah mendekat ini. Aroma romansa muda-mudi akan menguar dengan hebatnya, sebentar lagi."