Aku ingin menjadi seperti yang mereka minta.
Namun, bisakah aku menjadi seperti yang aku inginkan?
Ini aku, ini diriku. Aku ingin menjadi diriku sendiri.
Jangan khawatir aku akan pergi jauh.
Karena mereka tetap menjadi tempatku berpulang.
(Birendra Sadhana)
🍁🍁🍁
Meski sudah dini hari, tepatnya pukul dua, Birendra merasa malamnya terasa sangat panjang. Tetesan air matanya tak henti mengalir. Rasa bersalahnya masih saja tak terbayarkan. Masih ada rasa sesak yang dia tahan sedari tadi.
Mengecup kening mamanya ternyata justru membuatnya semakin sakit. Betapa berdosanya dia membuat sang mama menunggu tanpa kepastian akan kehadirannya.
Birendra duduk dikursi antara ranjang mamanya dan ranjang tempat ayahnya beristirahat. Ditatapnya kedua wajah letih itu secara bergantian. Baru dia menyadari, banyak kerutan di wajah kedua orang tuanya itu.
Dia tertunduk semakin dalam sembari menahan isakan tangisnya. Bayangan tentang kehilangan orang tuanya membuat sesak itu semakin menggila. Bukankah takdir hidup manusia tak ada yang tahu?
Rasanya dia masih belum siap jika harus kehilangan salah satu orang tuanya. Birendra merasa belum menjadi anak yang berbakti. Belum juga menjadi anak yang membanggakan untuk orang tuanya.
Dua jam lelaki muda itu ada di titik terjauhnya, merasa dalam tekanan, merasa bersalah dan tak bisa berbuat apa-apa. Diusapnya kasar wajahnya kala azan Subuh berkumandang.
"Yah! Ayah ..., sudah azan Subuh!" Tangan Birendra menepuk pelan bahu ayahnya.
"Hm, sudah Subuh? Ayo ke masjid! Biarkan Mama lanjut istirahat."
Ayah dan anak itu lalu bergegas menuju masjid yang ada di lingkungan rumah sakit tersebut. Laki-laki yang lebih tua itu menatap putra bungsunya.
Matanya tampak sembab dengan lingkaran hitam dibawah matanya. Sorot mata sayu menampakkan kelelahan tak bisa disembunyikan lagi.
"Kamu nggak tidur, Bi? Jangan banyak begadang kalo nggak perlu. Jaga kesehatanmu, Nak!"
"Bi nggak bisa tidur semalam, Yah!"
"Karena pekerjaan?" Birendra membisu, dia enggan menjawab pertanyaan sang ayah.
"Jangan dilanjutkan pekerjaanmu jika itu hanya menjadi beban berat di pundakmu. Berapa kali harus sayah bilang? Jika tidak lepas saja pekerjaanmu di sekolah. Hanya itu permintaan Ayah!"
"Kenapa Ayah nggak suka Bi jadi guru? Padahal Kakek Ayyub juga guru. Bi hanya ingin melanjutkan apa yang diajarkan oleh kakek."
Lelaki itu mengusap pesan pundah putranya. "Ada alasan mengapa Ayah keberatan kamu menjadi guru. Suatu hari nanti pasti kamu akan paham pada alasan Ayah. Temukan alasan Ayah jika kamu mampu, karena Ayah takkan pernah menceritakannya."
🍁🍁🍁
Pagi Birendra kali ini bisa terbilang sial. Mamanya yang sudah sejak tadi terbangun masih enggan menatapnya. Sang mama masih sedikit kesal dengan ketidakhadirannya kemarin.
Di saat mamanya ngambek mode on, Zio datang dan langsung menggenggam erat tangan Ajeng. Otomatis, Birendra tersingkirkan dari sisi sang mama.
Dia beralih duduk berdampingan bersama sang ayah yang menikmati bubur yang dibawakan oleh Ganesh dan Zio.
Ganesh dan Zio membujuk Ajeng untuk menikmati sarapan yang sama dengan ayahnya. Hanya ada empat porsi bubur yang dibawa oleh Ganesh.