Meski dalam diam dan bimbang, aku masih menimbang.
Menggunakan pemikiranku agar tak ku dengar suara sumbang.
Namun, aku sudah terlalu lelah hingga nyaris tumbang.
Hening rasa hati ini tanpamu, sendiri dan tergamang.
(Birendra Sadhana)
🍁🍁🍁
Perlahan pintu kamar diketuk oleh Yudis, sang kepala keluarga. Berharap ada sahutan dari dalam kamar di hadapannya itu. Hening, tiada sahutan yang menyapa.
Lelaki lebih dari setengah abad itu akhirnya masuk secara perlahan. Meletakkan nampan yang berisi sup tahu putih, nasi tim, dan segelas air hangat di atas meja belajar Birendra.
Suasana yang temaram hanya diterangi lampu tidur membuat Yudis berdecak. Dia segera menekan sakelar lampu untuk mengetahui kondisi si bungsu.
"Bi, bangun dulu, Nak!" Yudis mengguncang tubuh yang bergelung di bawah selimut itu dengan pelan.
Putra bungsunya itu hanya bergumam tak jelas. Diusapnya dahi yang penuh dengan tetesan keringat itu dengan perlahan. "Bi, Mama sudah bikin sup tahu putih, dimakan ya?"
Birendra membuka matanya dan mendapati sang ayah sudah berada sangat dekat dengannya. Mengusap keringatnya dan membuka selimut yang dipakainya itu.
"Ayah kok di sini? Sudah makan?" Birendra lantas mendudukkan tubuhnya di ranjang dengan tangan yang menekan perut. Nyeri yang sudah sedikit mereda itu kembali datang.
"Makan dulu, minum obat, terus tidur lagi. Atau Ayah panggil Dokter Rey?" Birendra menggeleng.
"Bi masih kuat, Yah! Nanti Bi makan."
"Ya sudah kalau begitu. Kamu jaga diri baik-baik yaa, besok Ayah sama Mama mau ke Jogja selama seminggu. Biar Mama bisa refreshing dan beristirahat sebentar, Nak. Itu saran dari dokter yang menangani Mama. Kamu, sama Mas Ganesh dan Zio baik-baik, udah gede, nggak usah berantem."
Lelaki muda itu hanya mengangguk. Ada rasa kecewa yang terlintas dalam benaknya. Biasanya saat dia sakit baik mama maupun ayahnya tak 'kan beranjak sedikitpun dari sisinya.
Apa karena sudah menyandang status orang dewasa lantas perlakuan orang tuanya kini berbeda? Kalau memang seperti itu, ingin rasanya Birendra tetap menjadi anak kecil yang hidup tanpa beban dan selalu mendapat perhatian penuh.
Saat kecil dulu Birendra ingin segera menjadi dewasa, tetapi jika menjadi dewasa itu serumit ini, lebih baik dia tetap menjadi anak kecil, selama yang dia mau. Tanpa beban, tanpa sakit hati, tanpa goresan luka.
🍁🍁🍁
Ayah dan mamanya sudah berangkat malam Minggu kemarin. Mereka tetap melanjutkan rencana tersebut meski sudah tahu si bungsu sedang sakit. Tiket sudah dibeli bahkan hotel tempat menginap pun sudah di-booking, sangat tidak mungkin untuk membatalkan rencana, itu alasan mereka.
Birendra terpaksa menelan pil pahit, harapannya supaya sang mama merawatnya saat sakit, sirna sudah. Guru muda itu menghabiskan hari Minggunya dengan kegiatan yang membosankan.
Makan, minum obat, muntah, dan tidur. Itu adalah kegiatannya selain kegiatan wajibnya menyapa Sang Khaliq di lima waktu.
Sakit di perutnya itu semakin menggila sejak Senin dini hari. Istirahat seharian penuh di hari Minggu ternyata tak membuat kondisinya membaik.
Jika biasanya hanya mual dan muntah, ada hal lain yang dia rasakan. Dadanya terasa sangat panas seperti terbakar. Bahkan untuk menarik napas saja dia kesulitan.