Sesekali, percayalah pada waktu.
Berikan kesempatan pada waktu.
Biarkan waktu yang menjawab semua.
Ketika sabarmu masih berbatas.
Ketika ikhlasmu masih berbalut keluh.
Tak mengapa, selama sang waktu masih menemani.
Biarkan semua berjalan apa adanya.
Kemudian, berlalu sebagaimana mestinya.
Dan, berakhir dengan seharusnya.
(Birendra Sadhana)
🍁🍁🍁
Tragedi tumbangnya Ganesh membuat Birendra tak enak hati. Dia mengingat bentakan pada kakaknya. Apalagi saat dalam tidurnya Ganesh menangis sambil menyebut namanya berkali-kali.
Kamar rawat itu menjadi satu untuk berdua. Kakak-adik itu menempati kamar yang sama atas permintaan Birendra. Si bungsu tak ingin berada jauh dari kakaknya. Ingin kakaknya selalu dalam jangkauan matanya.
Rasa bersalah Birendra semakin besar ketika dokter mengatakan kakaknya itu kelelahan. Baru saja semalam hidup tanpa limpa dia sudah membuat sang kakak kelelahan. Bagaimana dengan nanti?
"Bang, Mas Ganesh pasti capek jagain dari semalam. Bi pulang aja, ya? Belum lagi Mama sama Ayah, pasti mereka kerepotan, Bang!"
Birendra merengek pada Radit sambil melirik ke arah ranjang tempat Ganesh. Sang kakak sedang terlena dalam mimpinya setelah mendapatkan infus dan obat dari dokter.
"Bi, bekas operasinya saja masih basah, wajah kamu masih pucat begitu mana mungkin dokter kasih izin untuk pulang?"
"Bi malah ngerasa salah lihat Mas Ganesh begitu. Mas Ganesh orangnya jarang sakit, ini kali pertama dia pingsan. Sebelumnya mana pernah? Makin susah jagain dua orang."
"Kamu nggak usah mikir macem-macem dulu dah. Urusan jaga-menjaga nanti ada Zio, Daddy sama Bunda, mereka juga bakal gantian jagain kamu dan Ganesh."
"Malah makin banyak yang direpotkan 'kan? Pulang aja, Bang!"
"Nggak usah aneh-aneh!"
"Bang, Bi kangen rumah, nanti Abang harus nginep di rumah, ada atau nggak ada Bi, Abang harus sering-sering main dan nemenin Mas Ganesh, Mama sama Ayah. Pokoknya wajib! Bi nggak terima penolakan."
"Iya, nemenin kamu juga. Bi balik ke rumah 'kan?" Birendra hanya mengangguk dan menatap Radit tanpa berkedip.
"Abang ganteng! Persis masih mudanya Simbah Hardi, tinggi, putih, matanya agak sipit, bibirnya mungil begitu," ujar Birendra sembari tersenyum.
Radit mengernyit keheranan karena deskripsi tentang Simbah Hardi itu tak meleset sedikitpun. Keheranannya itu semakin bertambah ketika dia mengingat bahwa Birendra tak pernah sekalipun bertemu dengan Simbah yang notabene adalah kakek buyut Birendra dan Radit.
"Kok tau kalo itu Mbah Hardi? Emang pernah lihat fotonya?"
Birendra menggeleng, "nggak pernah lihat, tapi kayaknya pas kemarin mimpi itu mimpiin Mbah Hardi. Dia ngabsen nanyain Mama, Bunda Karina, sama Abang. Malah Bi diajak jalan-jalan jauh banget. Sayangnya belum nyampe malah disuruh pulang."
"Kenapa disuruh pulang?"
"Ya, iya disuruh pulang, Bi disuruh nungguin Mbah Hardi jemput lagi buat jalan-jalan."