Takdir dibuat rahasia, ghaib dan diluar jangkauan kita.
Agar yang saat ini sedang berjuang, tak kehilangan semangat dan doanya.
Dan yang saat ini sedang berjaya, tak kehilangan tawadhunya.
Karena ...,
dalam hitungan detik semua bisa berubah ....
(Ummu Balqis)
🍁🍁🍁
Ketika seseorang menegur dengan cara baik, mengingatkan dengan perlahan tanpa penekanan, maka disitulah letak ketulusan dalam berkawan. Seorang Yudistira Wardhana pada akhirnya luluh dengan ucapan sahabat lamanya.
Semalam, sembari menunggui si bungsu yang sedang demam dia memikirkan kembali segala keputusan yang ternyata menyulitkan putranya. Di awal dia sama sekali tak ada niatan untuk mempersulit.
Justru niatan awal adalah untuk melindungi si bungsu, tetapi nyatanya berbeda dari yang dia bayangkan. Si bungsu malah tertekan hingga mempengaruhi kesehatannya.
Ditatapnya wajah Birendra yang terlelap. Ada kerutan-kerutan yang tercipta bersama dengan titik-titik keringat. Demam masih saja menemani hingga membuatnya tak tenang.
"Yah ..., maaf, Bi salah!" igaunya di tengah malam.
"Sst .... Ayah di sini, Bi tidur dulu ya, Nak. Ayah temani," jawab Yudis sembali menepuk pelan dada anaknya.
Perlahan, kerutan dan igauan itu mulai mereda. Birendra mulai tenang dibawah buaian sang Ayah. Sang ayah tersenyum ketika melihat si bungsu sudah mulai tenang.
Tak ada kelegaan yang paling melegakan bagi seorang ayah selain melihat keluarganya baik-baik saja. Dahulu yang terpisah kini besama kembali. Dahulu yang pernah pergi kini kembali pulang.
Sebaik- baiknya tempat untuk pulang adalah keluarga. Sebaik-baiknya tempat untuk mengadu adalah keluarga. Biarkan orang berkata apa, sudah seharusnya keluarga tetap menjadi tempat ternyaman untuk pulang.
🍁🍁🍁
Radit sudah sejak pagi sampai di kediaman Keluarga Wardhana. Rencananya, sesuai ajakan Ganesh, mereka akan menikmati malam minggu bersama. Dia akan bermalam dan Minggu paginya berniat untuk mengunjungi Car Free Day di alun-alun kota.
Selain untuk refreshing, yaa lumayanlah untuk merajut kembali hubungan yang sempat renggang antara dia dan Ganesh.
Sayangnya, hingga matahari hampir condong ke barat, Birendra baru keluar kamar. Hampir seharian dia tidur memulihkan tenaganya.
Demam sialan itu banyak menguras tenaga. Kini wajahnya sudah lebih segar meskipun tubuhnya masih terasa sedikit lemas.
"Udah tadi, Bang?" tanya Birendra saat melihat Radit duduk di ruang tengah dengan mangkuk di pangkuannya.
"Hu'um, dah tadi! Udah ngabisin bubur ayam buat sarapan, tahu lontong bikinan Tante Ajeng buat makan siang. Nah sekarang mau makan es teller buat ngademin otak yang dah ngebul ngadepin ocehan sepupumu ini." tunjuk Radit pada Zio yang tengah tengkurap sembari memegang stik PS.
"Bi kelamaan tidurnya, ya?"
"Nggak apa-apa, Bi. Lagian Abang dah izin mau nginep. Demamnya sudah turun?"
Radit meraba kening Birendra yang duduk di sebelahnya.
"Sudah sehat, Bang. Hm ..., Abang lihat Ayah nggak?"
Radit menoleh ke arah dapur kemudian menoleh sekali lagi ke halaman samping tempat gazebo berada.
"Tuh, lagi pacaran sama Tante Ajeng."
"Bi ke sana dulu, Abang nggak boleh pergi-pergi!"
"Iya, iya. Ya udah sana!"
🍁🍁🍁
Birendra berjalan pelan menuju gazebo di halaman samping. Ayah dan mamanya terlihat sangat mesra. Tawa renyah dari keduanya membuat Birendra turur menyunggingkan senyum.