Dear 30th

Tyaerynvieqa
Chapter #2

Penyesalan

Dear 30th,

Jika diberi kesempatan untuk menghapus salah satu kenangan di masa lalu, aku akan memilih menghapus pertemuan awalku bersama dirinya sehingga tidak ada penyesalan yang terbuang sia-sia.

Apakah diriku memang ditakdirkan hidup seperti ini?

Flora


14 Februari 2010

Flora menatap antrian panjang di sebuah rumah bersalin dengan perasaan yang bercampur aduk, gelisah, dan agak ragu untuk memasukinya. Ia menatap sejenak pada perutnya yang mulai membesar, ada perasaan aneh yang mengaliri darahnya dan merasa ini bukanlah sesuatu yang benar, tetapi berbanding terbalik dengan logikanya. Tekadnya telah bulat untuk menggugurkannya, karena ia tidak memiliki apa-apa dan juga telah dibuang oleh keluarganya. Flora menyadari bahwa umur kandungannya termasuk yang sangat crusial dan bisa berakibat fatal pada dirinya, ia tidak peduli, lebih baik ia bersama bayi yang dikandungnya menghilang daripada harus menelan pahitnya kenyataan bahwa mereka berdua tidak diterima oleh siapapun.

"Dek, ngapain berdiri disana, udah daftar atau belum?" seorang ibu berdaster merah menghampirinya, keringat dingin menguncur deras di dahi Flora. Dengan sopan, si ibu menyodorkan tissue, Flora mengambilnya dengan tangan gemetar karena perasaannya yang sedang bercampur aduk saat ini.

"Mau ibu bantuin daftar, untuk itu kan?" si ibu menunjuk ke arah perut Flora, memberi isyarat seperti mengeluarkan.

Flora mengangguk dengan kaku, ia masih tetap diselimuti dengan perasaan ragu. Flora pun dituntun oleh si ibu duduk di salah satu kursi kosong yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, sementara si ibu antri untuknya. Mata Flora memperhatikan wajah-wajah asing yang didominasi oleh para ibu-ibu serta beberapa remaja wanita yang ditemani oleh pacarnya. Setidaknya, para remaja wanita itu didampingi, tidak seperti dirinya. Awalnya, ia merasa yakin untuk mempertahankannya, tetapi di waktu tertentu ia merasa goyah sehingga Flora pun mencoba menggugurkannya sendiri dengan cara tradisional, kadang ia meminum jamu, ataupun ia racik sendiri obat tersebut, tetapi semua percobaan itu berakhir gagal, tidak berefek sama sekali dengan dirinya.

Masalahnya, Flora tidak mempunyai cukup biaya setelah ia membayar bidan. Ia telah menggunakan semua uang tabungannya, dan sekarang hanya tersisa beberapa ribu dalam dompetnya. Menghilang di dunia ini adalah jalan satu-satunya bagi dirinya, tidak ada yang perlu ia takutkan lagi.

25 menit berlalu, si ibu berdaster merah menghampiri Flora dan mengatakan bahwa sudah gilirannya menemui bidan. Flora pun berjalan ke arah ruangan yang ditunjuk si ibu. Ruangan tersebut berukuran 3 x 3 meter, dengan cahaya lampu kuning temaram serta ada beberapa baskom yang ada cipratan darah. Perasaan Flora semakin tidak karuan ketika melihat kasur yang terletak tidak jauh dari sana, sepreinya telah bercampur dengan noda darah. Seketika itu juga, nyalinya menciut. Alhasil Flora hanya berdiri didepan pintu setelah menutupnya.

"Jangan berdiri disana aja, masih banyak pasien yang harus saya tangani!" hardik si bidan yang merupakan seoarang wanita tua berumur 60 tahun, beliau mengenakan daster bermotif batik bewarna hijau yang sebagian besar telah bercampur dengan noda darah.

Flora bergidik seketika saat menatap wajah si bidan, antara takut dan bimbang."this is the right things I have to do. No more pain, no more suffering." batin Flora, menyakinkan dirinya.

Si bidan menginstruksikan kepada Flora untuk mengganti celana jeansnya menggunakan kain sarung yang terletak di sebuah meja kecil di pojok ruangan. Setelah menggantinya, ia pun disuruh berbaring dan mengangkat kedua kakinya.

"Kalau dilihat, kandunganmu telah memasuki usia 5 bulan. Apa kau yakin untuk menggugurkannya?" tanya si bidan sebelum memasukkan kedua tangannya ke dalam kain sarung.

Batin Flora bergejolak dan menyuruhnya untuk berhenti, tetapi logikanya tetap mengatakan bahwa ini adalah sesuatu yang benar. Lebih baik ia menggugurkannya dan mati bersama bayi itu. Pilihannya mati di tempat ini atau mati kelaparan di luar sana. Keringat Flora semakin menguncur deras, jantungnya berdetak semakin cepat dengan ritme yang tidak karuan.

Setelah memikirkannnya selama 2 menit, Flora mengangguk pelan, memberi kode pada si bidan untuk segera memulainya. Tangan si bidan mulai meraba-raba perutnya, seperti memeriksa sesuatu. Lagi-lagi, Flora tidak dapat lagi menahan perasaannya, tangan kanannya refleks menghentikan aksi si bidan.

"Bagaimana cara ibu mengeluarkannya?" tanya Flora sambil mendongakkan kepalanya.

"Ibaratnya seperti kamu minum jus, setelah kamu bersihin buahnya, kamu potong-potong buah tersebut untuk kamu blender kan? setelah buahnya halus, baru kamu tuangkan ke gelas. Hasil blender itulah seperti janin yang akan keluar dari rahim kamu." jelas si bidan.

Tangan Flora lemas seketika, tubuhnya semakin dingin karena rasa takut dan bersalah setelah mendengar penjelasan si bidan. Dengan tenaga yang masih tersisa, Flora pun bangkit dengan tergesa-gesa serta mengganti kain sarung tersebut dengan celana jeans. Untungnya, tadi ia masih mengenakan panties, sehingga langsung mengenakan celana jeansnya dengan kilat. Air matanya mengalir dengan deras, tanpa kata-kata, Flora pun meninggalkan tempat tersebut dengan berlari secepat mungkin.

***

Jovita sedang melapisi T-shirt yang ia kenakan dengan stunt safety equipment untuk adegan action selanjutnya. Untungnya, ia hanya sendiri di dalam ruang ganti yang dikhususkan untuk para artis dan aktor, sehingga ia pun leluasa melakukan apa saja di sana termasuk pemanasan. Jovita melirik jam di dinding, pukul 9.30 pagi, berarti sudah lebih dari 24 jam terakhir sejak ia tidur.

Sembari menunggu panggilan, Jovita melakukan gerakan-gerakan dasar pencak silat untuk melemaskan otot-otonya, rambut panjang lurus sebahu yang ia ikat, menari-nari mengikuti gerakan tubuhnya. Keringat mulai membasahi tubuhnya, paling terlihat jelas di area wajah. 10 menit berlalu, Jovita pun memutuskan untuk menyudahi pemanasannya.

Seseorang masuk di ruangan tersebut, ia pun menoleh dan mendapati Aris berjalan ke arahnya dengan membawa script dan sebuah peti kecil yang berisi properti syuting. Aris menjelaskan secara singkat adegan action yang harus diperankan oleh Jovita, menggantikan Dina, artis yang seharusnya melakukan adegan tersebut.

Lihat selengkapnya