Dear Allah, aku Mencintai-Mu

Nawasena Afati
Chapter #1

1 : Nikmat Dari Allah

"Kita sebagai manusia, seringkali lupa akan kasih sayang Tuhan-Nya. Padahal, satu kali kamu bernafas saja merupakan bukti dari kasih sayang Allah SWT sebagai Tuhan-Mu."

***

Setting waktu di tahun 2018

"Kakak, Aa, Adek, ayo semuanya kita makan! Makanan udah matang nih!"

Suara memekik dari arah Dapur itu membuat aku yang sedang bermain ponsel menolehkan kepala ke arah sumber suara. Suara itu merupakan suara Mama, yang memanggil anak-anaknya untuk makan malam bersama.

Beringsut, aku yang sedang bermain ponsel sambil duduk di atas kasur lantai-menegakkan tubuh untuk menyimpan ponsel yang sudah dipakai terlebih dahulu. Menyimpan di atas nakas, kemudian berlalu menuju Dapur setelah lebih dulu menepuk bokong adik bungsuku agar ikut ke Dapur.

"Ayo kita makan, Dek!" seruku padanya.

Aku Jennaira Lavanya. Seorang anak perempuan pertama yang memiliki dua adik laki-laki sebagai pelengkap hidupku. Usiaku baru 18 tahun, sebentar lagi akan lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA). Ah, jika ingat itu-aku selalu merasakan dua hal sekaligus. Senang dan sedih. Ya! Senang karena itu artinya aku sudah mulai memasuki fase usia dewasa, di mana sebentar lagi aku akan kuliah dan nanti bekerja. Sedih karena dengan itu, aku berpisah dari para sahabatku di SMA.

Tapi waktu memang akan terus berjalan, bukan? Semua pasti menemukan fase di mana perpisahan itu ada. Karena hidup, bukan hanya tentang kebahagiaan saja. Tapi juga tentang kesedihan yang mungkin bisa dijadikan banyak pelajaran di kemudian hari.

Aku mendorong pintu yang menjadi pemisah antara Ruang Keluarga dan Dapur. Di belakangku, si adik bungsu mengikuti aku berjalan menuju Dapur.

Meski hidup kami sangatlah sederhana, tapi aku sangat bersyukur dengan kebersamaan yang terjalin ini. Dulu, saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, aku hidup bertiga bersama Mama di kampung. Sementara Papa, mencari nafkah di luar Kota untuk aku dan adik bersekolah. Tapi setelah 5 tahun berjalan ini, kami memutuskan untuk ikut dengan Papa ke mana pun pria itu pergi. Tidak peduli jika kami hidup dalam kesusahan sekalipun, karena yang terpenting kami semua tidak berjauhan. Percayalah, menahan kerinduan pada sosok orang tua itu sangatlah menyiksa, bukan?

Sebenarnya, dulu hidupku pernah serba ada dan terasa enak sekali. Tapi semua itu berubah sejak Papa tergiur dengan pekerjaan yang menawarkan gaji lebih tinggi. Saat itu bukan hanya Papa yang keluar dari pekerjaannya saat itu, tapi teman-temannya juga. Mereka semua tergiur dengan iming-iming gaji tinggi yang ternyata cuma tipuan. Ya! Pekerjaan itu pada akhirnya membuat Papa menjadi orang pengangguran.

Tapi sekarang, semua masa sulit Papa sudah terlewati. Meskipun pekerjaan serabutan ini masih jauh dari kata 'enak' seperti dulu, tapi kami tetap mensyukurinya dengan baik.

Lihat selengkapnya