Kalau dipikir-pikir, hidup itu singkat, seperti baru kemarin aku jadi bully-an kegiatan Ospek, sekarang sudah menjadi pengisi acara.
Benar kata mereka, bahwa waktu terus berjalan, umur semakin berkurang, dan dosa semakin bertambah.
Melihat mahasiswa baru berseragam putih hitam dengan dasi hitam itu menyenangkan, generasi baru telah datang dan akan meneruskan generasi lama. Tapi, melihat kedua kalinya ke barisan putih hitam itu aku merasa kasihan, jalan yang mereka tapak baru anak tangga pertama, mereka bakal melewati waktu di mana kehidupan bangku kuliah itu penuh dengan air mata perjuangan. Waktu di mana mereka akan merasa putus asa hanya karena dosen tidak memberi acc.
Ah, aku menghela panjang. Alhamdulillah, berkat kekuatan dari Allah, aku bisa wisuda dan mendapat gelar Sarjana Keperawatan di mana tahun yang paling berat ketika di semester ketiga telah terlewati. Masa di mana aku harus merelakan Umi pergi untuk selamanya.
“Mbak Nai, beri tau Dokter Wildan kalau peserta sudah siap diberi materi,” kata Dara, time keeper acara Ospek Fakultas Keperawatan.
“Oke, Dek,” jawabku seraya menutup buku materi yang akan aku sampaikan setelah Wildan memberikan materi. Kakiku langsung berjalan cepat ke arah ruang Himpunan Mahasiswa, tempat Wildan kini berada.
“Assalamualaikum. ”
Aku membuka knop pintu dengan perlahan sambil menyeimbangkan detak jatungku yang berdetak tak keruan karena akan berhadapan dengan kaum adam satu ini. Irama napasku sedikit memburu tapi aku berusaha menetralkan dengan beberapa kali membaca kalimah Bismillah. Kusapu ruangan bernuansa abu-abu itu dan kudapati sosok pria yang kucari itu tengah duduk di atas sajadahnya.
“Allahu Akbar!” dia duduk di antara dua sujud.
Aku memandanginya penuh kagum. Di tengah kesibukannya sebagai dokter sekaligus pembicara masih sempat menjalankan salat duha dengan khusyuk. Masya Allah....
Aku kembali melangkahkan kakiku mendekatinya setelah kudengar dua salam pertanda salat sudah selesai.
“Assalamulaikum, Dokter Wildan,” ucapku.
“Walaikumsalam,” jawabnya sambil merapikan sajadahnya.
“Laporan dari time keeper pemberian materi Ospek sudah bisa dimulai,” laporku.
Ujung rambutnya yang basah karena air wudu membuatku menelan air liur sejenak. Sungguh, setan ramai-ramai membisikiku untuk terus memandanginya. Astaghfirullah... sontak langsung aku menundukkan kepala menatap lantai keramik dan membuyarkan khayalanku tentang Wildan.
Puk! Astaga! Wildan seenak jidatnya menimpuk keningku dengan selembar tisu sambil berjalan berlalu begitu saja.
“Lap tuh keringet, jelek banget keringetan gitu,” celetuknya sebelum hilang dibalik pintu.
Aku menatapnya heran, lantas aku meraba kening dan kudapati tisu dua lembar menempel di sana. Sambil tersenyum, aku mengelap wajahku yang benar penuh keringat. Masya Allah.... Wildan, kau semakin membuatku tidak bisa move on dari bayang-bayangmu.
***
Semua peserta Ospek digiring masuk ke dalam aula pusat yang digabung dengan jurusan Keperawatan. Mereka mendapat materi tentang “Peran Dokter dan Perawat guna Peningkatan Kesehatan Masyarakat”. Materi yang diberikan Wildan menyangkut peran dan bentuk kerja sama antara dokter dan perawat. Setelah menjelaskan peran dokter, disambung aku yang menjelaskan peran perawat, Wildan kembali menjelaskan pentingnya kekompakan dan kerja sama dokter dan perawat. Di akhir materinya, Wildan menekankan bahwa perawat bukan pembantu dokter tetapi perawat adalah partner dokter. Agar mencapai kesuksesan meningkatkan kesehatan masyarakat, dokter dan perawat harus mampu berkolaborasi dengan baik.
Entah kenapa hatiku terasa sakit tetapi tak berdarah saat mengingat Wildan tak akan pernah jadi milikku. Pria itu tak akan menjabat tangan Abi dan mengucap qobul atas namaku.
Pria sesempurna itu sudah menjadi milik gadis lain.
Dear Allah, kenapa cinta mudah datang tetapi sulit untuk mengikhlaskan?
Aku mengangkat kamera DSLR milik UKM Jurnalistik yang kupinjam saat Wildan memberikan materi tentang “Agama dan Profesi”. Beberapa kali aku mengambil gambar peserta Ospek.
Aku sudah berusaha menghindarinya tetapi apalah dayaku hanya manusia biasa. Fokus kameraku selalu menuju pada pria berwajah tegas itu beberapa kali dan tanpa sengaja jariku asyik menekan tombol shutter. Dan aktivitas paparaziku itu terhenti saat mata Wildan jelas menatap mata kamera yang kupegang. Sontak, aku hampir menjatuhkan kamera mahal itu ke lantai saking terkejutnya.
Duh, ketahuan jadi paparazi nih.
“Mbak Nai, acara Isoma akan segera tiba,” Dara memberi tahu lagi, yang kubalas dengan anggukan kepala.
Wildan mengakhiri materinya beberapa menit setelah diberitahukan bahwa istirahat akan tiba. Dia juga mengumumkan peserta untuk istirahat, salat, dan makan dalam waktu setengah jam. Tanpa aba-aba, peserta dengan tertib berjalan ke luar aula menuju kantin dan masjid fakultas.
“Nai, nanti sore setelah acara ikut aku yuk?” kata Wildan tiba-tiba saat aku menata buku pemateri di meja.