Di saat hati retak karena cinta dunia yang tak pasti, yang kubutuhkan saat ini adalah sosok Umi. Wanita yang pergi lima tahun yang lalu. Bagiku Umi adalah sosok ibu yang tak pernah ada gantinya, hanya dengan usapan lembut tangannya aku merasa tenang, jiwaku merasa damai. Semenjak kepergiannya, kedamaian itu hilang. Beserta doa mustajab darinya pun, hilang.
Senyuman hangat Umi masih terbayang di pelupuk mata. Bagaimana beliau menenangkan hatiku dengan senyuman itu adalah satu hal yang ajaib menurutku. Umi pernah berkata bahwa apa pun yang digariskan oleh Allah adalah ketentuan terbaik-Nya untuk hidup kita. Allah takkan pernah membuat hamba-Nya menderita sia-sia, pasti ada satu hal yang luar biasa di dalam penderitaan tersebut. Seperti halnya pelangi yang didahului oleh hujan. Keindahan akan tampak setelah badai menerpa. Setelah kepergian Umi, langkah pertama saat jiwaku terguncang adalah mengambil air wudu dan membentangkan sajadah. Bermunajat kepada Pemberi Kedamaian yang Hakiki. Allah-lah satu-satunya tempatku mengadu, Dia-lah satu-satunya pengharapanku. Ditinggal orang yang kita sayangi memang satu hal yang begitu menyakitkan,. Namun, jika Allah yang meninggalkan, kita dalam kerugian yang fatal. Seberat apa pun ujian yang Allah berikan, aku selalu berbaik sangka terhadap-Nya. Aku tahu Allah telah menyiapkan rencana paling indah untukku di masa depan.
Aku tinggal bersama Abah, Asya, adikku, dan Tante Intan, adik Abah. Suami Tante Intan adalah seorang tentara, semenjak suaminya ditugaskan ke luar Jawa, Tante Intan yang biasa aku panggil Tatan itu tinggal bersama kami. Kehadiran Tatan begitu menguntungkanku, pekerjaan rumah jauh lebih ringan lagi. Namun, semenjak Tatan dinyatakan hamil anak pertamanya, aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengurus pekerjaan rumah sekaligus kerja dinasku di rumah sakit.
Hari ini cukup melelahkan. Bukan hanya fisikku saja yang lelah namun hatiku juga. Setelah dari pagi hingga siang berkutat dengan seminar yang dihadiri pula oleh makhluk yang tak kuharapkan, hatiku harus terkuras habis karena kecemburuan melihat makhluk yang tak kuharapkan bersama dengan wanita yang dicintainya.
Kepada hati yang merindukan cinta,
Cukuplah berharap kepada hamba sahaya, seorang hamba takkan bisa mengubah apa pun tanpa seizin Sang Ilahi. Suara retak di hati janganlah membuatmu menjadi muslimah yang lemah. Jadilah akhwat yang tetap teguh berdiri meskipun angin badai menghantam dari segala sisi. Jika namamu tak tertulis di Lauhul Mahfudz sebagai pelengkap tulang rusuknya, mungkin di luar sana ada yang diam-diam menyebut namamu dalam doa di sujud terakhirnya
Setelah bercurah diiringi dengan hujan tangis kepada Allah, sekarang aku bercurah pada diary yang selama ini aku isi dengan berbagai kata-kata penyemangatku. Bisa dikatakan bahwa diary ini adalah sisi lain diriku yang selalu memberiku nasihat, semangat, dan beberapa kata penghibur untukku di kala sedih karena dikecewakan dunia.
Brukk!
Satu benda empuk sukses menghantam kepalaku. Aku mendengus sembari mengucap istigfar. Orang yang selalu menunjukkan kasih sayangnya dengan perlakuan kejam ini tak lain dan tak bukan adalah Tatan. Si Ratu Tega abad ini. Aku tidak bisa membayangkan jika aku menjadi mahasiswinya, punya dosen galak seperti dia pasti membuatku masuk rumah sakit jiwa.
“Astaghfirullahaladzim, Tatan!” pekikku seraya memutar tubuh untuk menoleh kepadanya.
Tatan berdiri tengah berkacak pinggang dengan perutnya yang membuncit. Matanya tampak melotot ke arahku. Sepertinya dia sedang kesal.
“Dipanggilin dari tadi nggak dijawab! Telingamu terkena Otitis Media Akut, Naira?!”
Jika suaranya sudah menggelegar ditambah dengan gaya khasnya: mata melotot, hidung kembang kempis, dan berkacak pinggang. Aku harus cepat-cepat menghampirinya. Kalau Tatan seperti ini pasti ada kesalahan yang tak sengaja aku buat.
“Maaf, Tan. Tadi lagi....” aku menggantung kalimatku, tidak lucu aku mengatakan kalau lagi sibuk memikirkan pria yang bukan halalku. Bisa-bisa Tatan mengadu ke Abah dan alamat aku akan mendapat pencerahan panjang kali lebar.
“Lagi apa?” tanyanya dengan nada super ketus.
“Lagi dengerin murotal.” Ampun, Ya Allah, aku bohong.
Tatan memicingkan matanya seakan ragu dengan alibiku, detik selanjutnya dia menetralkan pandangannya, “Ada telepon tuh, di bawah,” ucapnya.
“Siapa, Tan?”
“Dokter gantengmu,” ucapnya seraya melangkah pergi dari pintu kamarku.
Dokter ganteng? Ah, Wildan. Aku tahu dia Wildan karena setiap bertemu dengan Wildan Tatan pasti memanggilnya dengan sebutan itu. Selain akrab dengan Abah, Wildan juga akrab dengan Tatan, apalagi sejak Tatan mengandung, dia bisa konsultasi secara cuma-cuma ke Wildan.
Aku segera mengambil langkah untuk menuruni tangga dan langsung memungut benda lonjong di dekat kursi ruang tengah. Sebelum memulai pembicaraan, terlebih dahulu aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kencang. Salah satu koping efektif untuk menanggulangi kegugupan.
“Assalamulaikum, Wil?”
“Halo, Naira, Waalaikumsalam,” jawabnya.
“Kenapa menelepon lewat telepon rumah? Kenapa nggak ke ponselku langsung?” tanyaku.
Aku mendengar kekehan renyahnya dari seberang sana melalui benda teknologi ini. “Ponselku nggak ada pulsanya, dan hal ini penting banget buat kusampaikan sama kamu, Nai,” katanya.
“Hal penting apa?”
Ah, tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Ada hal apa yang akan disampaikan Wildan sampai dia harus telepon selarut ini tiba-tiba?
“Masalah di rumah sakit?” tebakku.
“Berita buruk, Nai.”
“Innalillahi. Berita buruk apa?” aku terkejut.
“Undangan yang aku pesen semua salah tanggal dan namanya.”
“Undangan?” keningku berkerut.
“Iya, kamu kan bisa mendesain undangan. Tolong ya... malam ini kamu buatin, besok harus udah dicetak dan disebar. Oke?”
Astaghfirullah... Salah telah berharap lebih kepada manusia. Dear
Allah, kuatkan hati hamba.
“Nai?”
Aku menghela napas panjang lalu menjawabnya, “Kamu kirim nama, tanggal, dan tempatnya. Aku akan mengerjakannya sekarang.” Tidak mungkin kan aku menolaknya? Biar Allah yang tahu kepedihan sakit hati ini, dan biar Allah yang akan menjaga hati ini untuk tetap kuat.
“Oke, Nai. Makasih banget ya... Kamu sahabatku paliiiing ngertiin aku.”
“Hm.”
Wildan memutuskan sambungan telepon setelah aku menjawab salam darinya. Kemudian dengan langkah gontai aku menaiki tangga menuju kamar dan langsung menghadap layar laptop.
Aku harus bisa. Aku yakin Allah memberi rasa sakit ini agar aku bisa melupakan Wildan segera, semakin sakit semakin aku membencinya dan semoga saja rasa cinta yang salah berlabuh ini agar segera berlayar lagi menuju jodohku sesungguhnya yang sudah disediakan oleh Allah.