Dear David

Lestari Pria Astuti
Chapter #1

Nayla Jasmine Kusuma

"Halo, Nak. Apa kabar?" Suara lembut ibuku terdengar dari seberang telepon.

"Baik, Bu," jawabku singkat.

"Alhamdulillah kalau begitu. Hm, Nak, boleh Ibu minta tolong sesuatu?"

"Tolong apa, Bu?"

"Boleh Ibu minta uang seratus ribu lagi untuk jajan adikmu besok? Sekalian untuk makan kami juga."

"Iya, Bu. Nanti Nayla transfer, ya." Lagi? Ingin rasanya aku menolak, namun apa boleh buat. Menjadi anak perempuan pertama sekaligus tulang punggung keluarga kecil ini memang berat.

"Terima kasih, Nak. Kalau begitu Ibu tutup ya teleponnya."

"Baik, Bu."

Tuut... tuut...

Aku menghela napas panjang. Di penghujung bulan yang sudah sangat mencekik ini, pengeluaran tak terduga kembali muncul. Honor dari penerbit tempatku bekerja semakin macet masuk ke rekening. Kubuka aplikasi mobile banking di ponselku. Ah, sungguh menyedihkan melihat saldonya. Meski begitu, aku tetap melakukan transfer ke rekening Ibu.

Kurebahkan tubuhku yang mulai lelah di atas kasur. Mataku menerawang ke langit-langit kamar, memikirkan apa lagi yang bisa kulakukan untuk mencari penghasilan tambahan. Ijazah sarjana Sastra Indonesia yang kumiliki ternyata sedikit menyulitkanku mendapatkan pekerjaan tetap. Saat ini, aku hanya mengandalkan honor yang sangat pas-pasan sebagai penulis. Belum lagi tuntutan naskah yang memuaskan dari kepala direksi nyaris membuatku gila.

Ting!


Notifikasi WhatsApp membuyarkan lamunanku. Kuraih ponsel yang tadi kulempar sembarangan di kasur.

Abi

Nay, nyokap gua butuh seorang guru bahasa indo. Lu minat gak? Setau gua lu lagi butuh kerja dan lu ada pengalaman volunteer ngajar juga kan?

Pucuk dicinta ulam tiba. Peribahasa itu terasa begitu tepat saat ini. Tanpa ragu, aku menyetujui tawaran dari Abi. Setelah itu, aku bangkit dan bergegas membersihkan kasur yang dipenuhi bulu-bulu kucingku.

Matahari mulai terbenam sempurna ketika aku tiba di kafe yang dijanjikan Abi. Segelas matcha latte panas menghangatkan tanganku. Sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu, namun batang hidung Abi yang mancung itu belum juga muncul. Tiba-tiba, sebuah tepukan ringan mendarat di bahuku.

“Sorry yah, biasa Jakarta macet,” ujar Abi tanpa diminta, menjelaskan keterlambatannya.

"Alasan klasik," jawabku sekenanya.

Lihat selengkapnya