Hari demi hari berlalu tanpa Yian disampingku membuatku merasa sedikit hampa. Jalanan yang biasanya kami lewati bersama dengan penuh tawa menjadi hening dan terasa panjang. Sejak hari itu ia tak lagi menghubungiku, sejak terakhir kali bertemu di café aku masih terus menunggu pesan darinya, seperti orang bodoh aku terus memikirkannya.
Pagi hari menjadi awal yang tak menyenangkan aku masih terus berharap ia ada di depan rumah untuk menungguku, sudah hampir seminggu sebenarnya dia pergi kemana. Rumahnya pun selalu tampak kosong aku tak berani untuk mengetuk pintu rumahnya, takut-takut hanya akan membuatku semakin kecewa.
Aku menghela napas berat, aku sadar aku tak boleh terus seperti ini walaupun tak ada dirinya di sampingku semuanya tak berarti aku harus terus murung seperti ini. Sesampainya di kelas aku terus memandangi kursi Yian, kursi itu sudah kosong selama 5 hari aku sangat merindukan pemiliknya.
Bel masuk hampir berbunyi, bibirku terangkat melihat sosok yang aku rindukan akhirnya muncul di hadapanku. Dia duduk dibangkunya, ia sama sekali tak menatap kearahku tapi aku tetap senang bisa melihatnya kembali.
“Hi Ian” sapa Irene yang duduk di samping Yian.
Yian menanggapi Irene dengan membalas sapaan perempuan tersebut dengan senyuman hangatnya. Dadaku terasa tertusuk saat itu juga, aku baru pertama kali melihat Yian tersenyum seperti itu pada oranglain selain diriku.
“Hah, kenapa aku jadi egois, apa salahnya kalo dia senyum sama semua orang kayak gitu?” batinku.
Sepanjang pelajaran mereka terlihat terus berinteraksi, sialnya mataku tak bisa berpaling dari keduanya. Menyebalkan, sangat menyebalkan karena aku terus merasa cemburu seperti ini, aku ingin berhenti memperdulikan keduanya tapi rasanya begitu sulit mengingat keduanya duduk bersebelahan tepat dihadapanku.
Jam istirahat tiba, untuk pertama kalinya Irene dan Sophia tak menghampiri mejaku, sebaliknya mereka berlalu begitu saja meninggalkan kelas tanpa mengajakku pergi ke kantin bersama. Deg! Hatiku terasa sangat sakit, apa mungkin mereka tak sengaja melakukan itu, apa aku harus menghampiri keduanya, apa akan terlihat sangat menyedihkan jika aku berlari kearah mereka dengan senyuman sembari bertanya apa mereka melupakanku.
Kakiku melemas aku tak bisa berdiri dari kursiku, entah ini hanya perasaanku saja atau mereka memang sengaja menjauhiku.
“Gak lah, gak mungkin mereka kayak gitu” batinku mencoba menepis semua pikiran buruk.
Akhirnya aku tak pergi ke kantin, aku memandangi ponselku berharap salah satu dari keduanya akan mengirim pesan di grup chat milik kami bertiga. Aku menyeringai, menertawakan tindakanku yang sia-sia karena sampai saat ini mereka sama sekali tak menghubungiku.
Pada jam pelajaran selanjutnya kami semua pergi ke lapangan untuk mengikuti pelajaran olahraga, saat berganti pakaian pun aku tetap sendirian, begitupun saat jam olahraga dan sampai selesai olahraga mereka masih tak menghampiriku.
Aku tahu sebenarnya aku bisa menghampiri keduanya lebih dahulu, tapi entah kenapa aku merasa tak seharusnya melakukan hal tersebut, seolah ada perasaan yang mengatakan bahwa aku tak seharusnya datang dan menganggu keduanya.
Aku duduk di tangga taman, memandangi anak-anak lain yang bersenang-senang bersama sembari melakukan kegiatan mereka. Aku bangun dan berjalan di samping lapangan, kemudian seseorang berlari kearahku dan menghadangku dengan tubuh besarnya.