Sore itu Yian membawaku keluar kelas, begitu sadar aku segera melepas rangkulannya dan melangkah mundur. Aku menatapnya dengan perasaan takut.
“Mika?” tanyanya bingung.
“Gua bisa pulang sendiri” ucapku.
“Lu mau kemana, lututlu berdarah. Ikut gua sebentar” ucapnya sembari menarik lenganku.
Aku segera menepis tangan Yian dengan tatapan dingin dan berbalik berjalan menjauh dari laki-laki tersebut. Yian menghela napas gusar hanya bisa menatapi punggungku yang sudah semakin menjauh dari pandangannya.
Aku sangat terluka dengan perlakuan Irene dan Sophia padaku hari itu, aku masih tak mengerti apa yang membuat keduanya begitu marah. Jelas aku tak benar-benar melakukan suatu hal hingga pantas menerima semua perlakuan buruk mereka kemarin.
Malam itu aku pulang dengan penampilan yang berantakan, Ibu yang menyadari luka di lututku terlihat nampak cemas. Buruknya aku harus kembali menutupi kejadian di sekolah kepada Ibuku.
“Tadi jatuh waktu pelajaran olahraga” bohongku.
Ibu dengan perasaan cemas segera mengobati lukaku, aku hanya bisa menahan rasa sedihku saat itu.
Hari ini tak begitu menyenangkan, sejak datang ke sekolah hampir semua teman-teman yang sebelumnya cukup dekat denganku, mereka semua berubah. Tatapan menghina juga bisikan yang terdengar begitu jelas di telingaku, mereka terus memaki dan berbagi rumor buruk.
Sesampainya di kelas aku tak mendapati meja dan kursiku di tempat. Aku hanya bisa berdiri dengan penuh kecemasan, aku berjalan kearah seorang teman.
“Dimana?” tanyaku gugup.
Ia hanya mengangkat bahunya dengan ekspresi wajah yang seakan menertawai diriku. Aku mengepalkan kedua tanganku dan mulai menguatkan diri, berjalan kearah Irene yang duduk tegak di kursinya.
“Gue mau ngomong” Ucapku.
Irene melirikku dan tersenyum getir, ia menggerakan jari-jarinya di meja.
“Ngomong aja disini” tantangnya dengan angkuh.
Aku menatap sekeliling dengan gugup, seisi kelas menatap kearah kami dengan serius.
“Sebenernya lo kenapa sih? Perasaan sebelumnya gak ada masalah apa-apa, kenapa tiba-tiba lo kayak gini?” tanyaku dengan penuh rasa penasaran.
“Gak ada masalah?” ucapnya mengulangi perkataanku.
Aku menatapnya bingung, Irene benar-benar terasa sangat dingin saat itu.
“OMG, udah dong aktingnya Mika, masih aja pura-pura bego?” ujar teman lainnya.
“Heh” tegur Raka terganggu dengan ucapan anak tersebut.
“Apasih” gumamnya sebal.
“Oh apa jangan-jangan masih belum tau ya kebusukkannya kebongkar?” ujar anak perempuan lain diikuti senyum sinis.
Aku hanya bisa menatap bingung karena aku sama sekali tak mengerti dengan apa yang mereka semua ucapkan.
“Seenggaknya jelasin apa yang udah gue lakuin, gue sama sekali gak tau apapun” ujarku.
“Beneran gatau apa cuma pura-pura? Ya abisnya susah buat percaya lagi sama tukang tipu, di depan manis eh di belakang nusuk”.
“Maksud lo?” tanyaku heran.
“Heh Mika! Lo gak seneng kan Irene pacaran sama Yian? Lo juga selama ini diem-diem deketin Yian, jalan sama Yian tanpa sepengetahuan Irene, katanya mau bantuin mereka deket tapi malah lo sendiri yang deketin Yian”,
“Hah?” gumamku tak percaya.
“Gak usah ngelak, nih liat sendiri” ujar lainnya sembari menunjukkan isi ponselnya.
“I-ini siapa yang foto?” tanyaku terkejut melihat banyaknya fotoku bersama Yian.
“Kan! Ngaku juga akhirnya… bener kan lo mau ngerebut Yian?”,
“G-gak gitu” jawabku terbata.
“Wah… merinding banget. Jadi selama ini lo palsu gitu ya di depan Irene, padahal sahabat sendiri. Apalagi ke kita yang cuma temen biasa, bisa-bisa semuanya di rebut sama dia”,