Besoknya di sekolah ku pikir keadaan akan membaik tapi tampaknya justru semakin buruk. Meski Irene telah kembali bicara padaku tapi anak-anak lain masih membicarakanku dengan cara yang buruk. Tak sedikit yang bahkan menabrakku di lorong atau menjegal kakiku di kantin. Saat pelajaran olahraga mereka seolah sengaja mengarahkan bola kearahku, tubuhku sesekali terkena bola yang mereka lemparkan dengan cukup keras.
“Huft, bener-bener” uajrku sembari meniup poniku merasa kesal.
Setelahnya mereka sengaja membiarkanku membersihkan bola-bola yang berserakan.
“Hah…kenapa pada jauh-jauhan sih bolanya” gerutuku sembari terus mengumpulkan bola ke keranjang.
“Aduh! Liat-liat dong” ujarnya saat tubuh kami bertabrakan.
Aku bangun dan menatapnya sembari menahan amarah.
“Lo yang nabrak” ucapku.
“Dih, siapa suruh berdiri di tengah lapangan, caper banget mau jadi Center of attention?” ujarnya sinis.
Aku memutar bola mataku dan berlalu melewati kelima anak perempuan tersebut.
“Songong banget, bukannya minta maaf, emang ya kalo anak yang ga didik begitu” ujarnya menyinggung.
Aku menghentikan langkahku dan berbalik kearahnya.
“Ngomong apa lo?” tanyaku dengan tegas.
“Kenapa? Emang bener kan lo kan gapunya bapak, punya ibu juga gila” ujarnya.
“Tutup mulut lo!” perintahku.
“Apa?! Semuanya juga tau kali kan ibu lo gila sampe-sampe nikah sama kriminal, anak sendiri sampe di korbanin. Mati deh jadinya” ucapnya kasar.
Aku menyeringai mendengar ucapannya, aku mengepalkan kedua tangan berusaha menahan emosiku. Bisa-bisanya dia bicara begitu kasar bahkan kami tak saling mengenal dengan baik.
“Lo pikir lo siapa berani ngomong kayak gitu?” gertakku.
“Kenapa lo? Kan bener sodara lo mati di bunuh ayah tiri lo, jelas banget ibu lo yang gila. Ga heran anaknya juga kurang ajar”.
“Berenti kalo lo cuma bicara omong kosong, gue gada waktu ngeladenin sampah kayak lo” ujarku.
Aku berjalan mendahulai kelimanya, namun tiba-tiba perempuan tersebut mendorongku dari belakang, membuatku jatuh tersungkur ke tanah.
“Aaa!” gumamku kesakitan.
“Sampah?! Lo yang sampah! B***h!” ucapnya kasar sembari menjambak rambutku.
“Lepas!” teriakku mencoba melepaskan tangannya dari rambutku.
Karena aku berada di posisi bawah, untuk menghentikannya aku segera menarik kakinya membuatnya jatuh ke tanah.
“Heh!” teriak lainnya.
Aku segera berdiri seketika perempuan tersebut terjatuh, empat lainnya menolong perempuan tersebut berdiri.
“Apasih masalah lo semua? Kenal juga gak! Sakit” ujarku.
“Terserah kita dong, lagian cewek kayak lo kan emang pantes di kasarin, lo pikir kita gatau soal lo yang ngerebut pacar sahabat lo sendiri? Murah banget” umpatnya.