Dear, diary

Liepiscesha
Chapter #45

Chapter 44

Sesaat matahari terbit aku sudah sangat rapi bersiap untuk berangkat ke sekolah, Ibu menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Yian juga kini telah merasa lebih baik dan memutuskan untuk pergi sekolah.

Pemandangan pagi yang bahkan tak pernah kubayangkan, melihat wajahnya yang baru bangun tidur seperti ini membuat jantungku berdebar.

“Gimana udah mendingan? Kalo masih sakit kamu istirahat dulu saja disini” ucap Ibu mengkhawatirkan keadaan Yian.

“Udah baikan tante, maaf jadi ngerepotin” sesalnya.

“Kenapa bilang begitu, dimakan lagi” ujar Ibu sembari menepuk punggung Yian menyuruhnya untuk meneruskan sarapan.

Selesai dengan sarapan kami, aku dan Yian berpamitan untuk pergi ke sekolah. Namun sebelum itu aku berjalan bersama Yian menuju rumahnya agar dia bisa mandi dan berganti seragam. Aku menunggu di ruang tengah sembari melihat-lihat isi rumahnya.

“Jessica…” panggilku dengan mengangkat  nada suaraku memangil Jessica yang baru keluar dari kamar Yian.

“Ian… nama anak itu Ian” gumamku pelan mengingat masa lalu.

“Ehm? Lu ngomong apa?” tanya Yian tak mengerti.

“Engga” ucapku dengan raut wajah gugup.

“Jadi Yian itu Ian, tapi kenapa… kenapa Yian gak ngasih tau kalo dia sebenernya anak itu, apa dia juga ga ngenalin aku?” batinku bingung.

9 tahun yang lalu aku pernah mengatakan bahwa waktu aku dan Karel berusia 8 tahun kami pernah diculik lalu melarikan diri. Beruntungnya Ian dan ayahnya, paman Ardhan ada di danau yang tak jauh dari tempat kami di sekap. Tanpa berpikir panjang paman Ardhan menyuruh aku dan Karel masuk ke dalam mobilnya lalu kami pergi dari tempat mengerikan dimana para penculik masih mengejar kami. Keluarga merekalah yang telah membantu kami, tanpa mereka mungkin kami tak akan pernah kembali ke rumah.

Sejak saat itu kami bertiga menjadi sahabat baik, namun beberapa bulan kemudian setelah ulang tahunku dan Karel, Ian juga keluarganya menghilang begitu saja. Kami sama sekali tak tahu dimana keberadaan mereka semua, tak ada satupun kabar tentang keluarga mereka.

Aku sangat sedih dan kehilangan sosok teman kecil yang amat baik seperti Ian. Namun jika Yian memanglah Ian, maka aku harus bagaimana, semuanya terasa sangat aneh bagiku.

Aku kembali teringat tahun lalu saat kami mengikuti Jessica ke toko roti keluarga Arlen, Yian sempat memanggilku dengan panggilan Kael, Karel dan Ian mengambil kata Kael dari nama asliku Mi”kael”a yang dimana panggilan itu biasa digunakan hanya oleh Karel dan Ian. Jika Yian memang anak laki-laki itu, apa yang harus ku lakukan.

Mungkin aku harus mencari waktu yang tepat untuk membahas masalah ini dengannya, meski aku penasaran mengapa ia pergi tanpa mengatakan apapun, tapi aku juga masih belum siap untuk menceritakan semua yang terjadi selama 9 tahun terakhir ini.

Setibanya di kelas anak-anak lain menatap kami dengan sinis, Irene nampak sangat kesal. aku berusaha mengabaikannya aku tahu jelas ia pasti sangat marah saat ini.

Aku mencoba untuk tak mempedulikan tatapan dan ucapan teman-teman sekelasku, berharap waktu berlalu dengan cepat sehingga aku bisa kabur dari tatapan mereka.

Aku hampir lupa bahwa tak lama lagi kami akan naik ke kelas 3. Meski rasanya sangat melelahkan namun tanpa kusadari waktu berlalu cukup cepat. Mungkin karena banyak hal yang ku lewatkan akhir-akhir ini sehingga aku bahkan tak menyadari banyak hal.

“Untuk pengambilan nilai bahasa Inggris saya sudah membuat kelompok, materinya akan saya kirim lewat email. Sekian hari ini, selamat makan siang semuanya”, ucap guru bahasa Inggris kami.

Lihat selengkapnya