Dua hari berlalu, hari yang tak kutunggu-tunggu tiba. Berkat saran Sophia kami semua akhirnya setuju untuk berkumpul di kafe Seasony’, karena letaknya di tengah-tengah tempat tinggal kami, tempat ini menjadi salah satunya pilihan kami untuk menyelesaikan tugas kelompok.
Aku datang lebih awal untuk menghindari tatapan mengerikan yang akan menjadi penyambutku. Setidaknya aku bisa menghindari tatapan mereka jika aku datang terlebih dahulu. Tak berselang lama Arlen muncul dan menghampiriku, seperti biasa sapaannya selalu dengan cara yang menyebalkan.
“Ow! Pengembala, apa kabar?” sapanya.
“Sehari gak ketemu apa juga yang bakal beda” gumamku.
“Ngapain? Nunggu gua? Kok lu bisa tau gua mau kesini?” tuduhnya dengan percaya diri.
Aku hanya menggeleng menanggapi sikap Arlen.
“Udah pesen minum belum? Jangan mentang-mentang kenalan lu yang punya toko lu jadi seenaknya cuma numpang duduk tanpa pesen apa-apa” semburnya lagi setelah menemukan topik pembicaraan. Ia bertanya seperti itu namun dengan jelas ia menunjuk gelas minuman di hadapanku. Memang jelas niatnya hanya ingin membuatku merasa kesal.
Tak disangka Irene adalah orang yang datang setelah diriku, ia berjalan menghampiri dengan tatapan bingung. Irene menatap Arlen dengan penuh kecurigaan, namun Arlen sama sekali tak menatap Irene, sebaliknya ia kehilangan senyumannya lalu berdiri sembari mendorong kursi dengan kasar. Arlen berjalan meninggalkan aku dan Irene tanpa mengucapkan sepatah katapun, membuatku heran dengan sikapnya tersebut.
Irene meyeringai dan duduk di hadapanku, “Lo deket sama dia?” selidiknya dengan wajah sinis.
Aku menatap kesamping tanpa menanggapi pertanyaannya tersebut.
“Gue tanya, lo deket sama dia?” tanyanya lagi memaksa.
“Gak” sangkalku menanggapi pertanyaannya.
“Sejak kapan?” tanyanya lagi, aku menatap Irene dengan wajah serius memintanya untuk berhenti.
Ia menatapku diikuti senyum sinisnya, entah bagaimana tapi aku merasa ngeri setelah melihat sorot matanya, membuatku bertanya-tanya ada apa dengan diriku saat ini.
Karena kini semua anggota sudah tiba kami semua segera memulai kegiatan kami. Aku, Yian lalu Irene juga Sophia sungguh kelompok yang luar biasa. Tapi untungnya ada Leo serta Raka, Julian dan Sahwa.
Siapapun yang melihat pasti sadar bahwa suasana di meja kami sangat tak menyenangkan, bagikupun rasanya sangat sesak dan menyebalkan. Kami semua yang berada disini merasa sangat tak nyaman dan ingin segera menyelesaikan kegiatan hari ini.
Sesungguhnya aku merasa bersalah karena telah menjadi penyebab ketidaknyamanan saat ini. Jika saja hubunganku dengan Irene dan Sophia masih baik-baik saja, pasti kami bisa melewati hari ini dengan penuh kegembiraan.
“Hari ini cukup bikin konsep dulu, karena materi caption text udah kita pelajarin dari semester awal gue harap semuanya ngerti jadi kita gak perlu buang-buang waktu buat ngejelasin lagi” ujar Irene dengan wajah datar.
“Okey, buat besok kita tinggal lanjut bikin naskah terus sempurnain ppt nya” ucap Sahwa yang nampak sangat sudah siap.
“Kayaknya gak gitu efektif belajar disini, kalo ke kafe belajar pasti ngebosenin banget, ada rekomendasi tempat lain? Yang nyaman, tau sendiri suasana sekarang aja udah bikin muak banget” ujar Sophia menyindir.
Mendengar ucapannya Sophia membuatku sangat tersinggung dan kembali kecewa. Namun aku memang setuju dengan ucapannya, keadaan saat ini sangat menyesakkan.
“Oh! Bukannya Yian tinggal sendirian? Gimana kalo di rumah Yian aja, ya gak?” usul Raka.
“Nah, bagus-bagus” saut Julian menyetujui usulan yang dibuat Raka.
“Nanti gua kirim alamatnya di grup” jawab Yian meyanggupi keinginan Raka dan Julian.
Sophia nampak senang lalu bertukar pandangan dengan Irene yang juga merasa senang.