Sepulang sekolah aku pergi ke rumah Yian untuk mengerjakan tugas kelompok. Aku sengaja datang paling terakhir dari yang lainnya, begitu aku datang Irene dan Sophia sama sekali tak menyambutku mereka asik menertawakan hal lain seolah sengaja tak menganggap kehadiranku. Tentu saja aku sudah tak mempermasalahkan hal tersebut.
Aku duduk di sofa sembari mengeluarkan peralatan tulisku, namun Sahwa menatapku dengan tatapan menghina membuatku merasa heran dengan sikapnya. Yang lainya segera mengeluarkan laptop dan tablet milik mereka, kini aku mengerti mengapa Sahwa bersikap sinis seperti barusan kepadaku.
Yian terkekeh melihat sikapku yang nampak kebingungan. Sejak mendengar pengakuan Yian tadi siang kini aku mulai merasa lebih baik dan tak kesepian seperti sebelumnya, karena aku tahu bahwa Yian ada di pihakku.
Kami mengerjakan bagian kami masing-masing, tugas yang di berikan kepadaku cukup sulit membuatku harus sering meminta bantuan dari yang lainnya, selain Yian hanya Raka yang masih bersedia membantu menyelesaikan bagianku
Waktu berlalu dengan cepat akhirnya aku bisa segera menyelesaikan bagianku menyusul ketertinggalan dari yang lainnya. Aku memang tak pandai berbahasa Inggris tapi aku cukup pandai mengetik dengan baik dan rapi.
Kami semua beristirahat sembari menunggu Yian mengambil pesanan minuman di depan rumahnya.
“Ya ampun ini Yian waktu kecil? Lucu banget, gak heran udah gedenya juga ganteng kayak gitu” ungkap Sahwa kagum melihat foto yang terpajang di atas piano.
“Itu Karel” batinku dengan sikap santai mengetahui sosok yang di tunjuk Sahwa dalam foto bukanlah Yian.
“Anak cewek di sebelah pasti kakaknya ya, terus yang gembul gemes ini pasti adeknya” tebak Sahwa lagi.
“Itu Yian” batinku lagi.
“Yian anak tunggal, mungkin itu temennya kali” sahut Sophia dari sudut lain.
“Oh pantesan gak mirip” ucap Sahwa kemudian berlalu meninggalkan tempatnya.
“Gua iri banget sama Yian pasti nyaman banget tinggal sendirian di rumah kayak gini, kalo gua sih pasti udah bahagia banget bebas dari peraturan rumah” seru Leo.
“Gua juga, gua gak perlu pulang tepat waktu, gak perlu belajar tiap malem, main game sepuas gua” timpal Raka.
“Gak semua orang bisa tinggal sendirian, kalo Yian sih kan anak baik-baik gak kayak lu bertiga” Ujar Sophia.
“Gua diem loh!” protes Julian merasa tak adil.
“Siapa yang tahu, dia juga pasti kesepian tinggal sendirian di rumah gede kayak gini” sangkal Irene menepis pikiran teman-teman yang lain.
“Yaa… kan lo tinggl dateng setiap hari ke sini” goda Sophia sembari menyenggol tubuh Irene pelan.
Irene nampak sangat riang menanggapi respon teman-teman yang lainnya, semakin aku melihatnya semakin aku merasakan kekecewaan yang dalam kepada Irene. Dia sebegitu menyukai Yian sampai tega membuat rumor buruk tentangku. Apa baginya persahabatan kami tak berarti apa-apa, apa hanya aku yang menghargai hubungan dan kenangan kami bersama.
Apa seharusnya saat itu aku memperkenalkan keduanya atau apakah tidak memperkenalkan keduanya adalah keputusan yang lebih baik. Entahlah, kepalaku sakit memikirkan setiap kemungkinan yang ada.