Jauh di dalam lubuk hatiku aku merasa sangat kecewa dengan apa yang terjadi, kejutan terus datang tanpa memberiku waktu untuk berpikir. Meski aku masih bisa tersenyum dan berjalan dengan tegak, dalam hatiku rasanya sangat melelahkan. Mengertikah kalian bagaimana rasanya tertipu, seorang diri tanpa mengetahui apapun, tertinggal dan di abaikan. Rasanya sangat pahit, aku benci sesuatu yang pahit bahkan aku tak meminum kopi tapi hidupku cukup memberikan rasa pahit tersebut, meski aku masih 17 tahun hari ini namun aku juga bisa merasakan sakit hati, aku juga bisa merasa sedih dan terluka.
Cukup dengan kehilangan keluarga tercinta apa kini aku harus bersiap untuk kehilangan sahabat baik. Datangnya Yian pada awalnya cukup menghiburku, dia satu-satunya yang bisa menenangkan hatiku yang gelisah, kini mengetahui bahwa Yian adalah sahabat kecilku yang telah lama menghilang, dengan hadirnya ia dalam hidupku saat ini aku harusnya merasa lega dan senang. Tapi entahlah, keadaanya tak tepat, selama hampir 2 tahun ia ada di sampingku tapi mengapa kami tak saling menyadari masa lalu kami.
Bukankah akan jauh lebih mudah baginya untuk mengenaliku, aku berpikir kembali apa yang tengah terjadi. Apa yang di rencanakannya mengapa ia bertindak seolah kami tak pernah bertemu sebelumnya, apa aku telah melewatkan sesuatu, apalagi yang tidak aku sadari.
Akankah keadaanya menjadi lebih baik jika aku bilang aku mengingatnya
“Ian” tegurku.
Yian menoleh ke arahku yang berdiri di sampingnya. Kami saling bertukar pandang dengan tatapan mata sendu dan berkaca, kata yang telah beberapa waktu tertahan akhirnya terlontar dengan berani.
“Lu Ian, bener kan?” ujarku dengan mata berkaca.
Yian tertegun begitu mendengar pertanyaanku.
“Gue Mikaela, 9 tahun lalu lo sama ayah lo nyelamatin gue sama Karel dari penculik, lo bener Ian yang gue kenal kan?” ucapku.
Yian menghembuskan napas lega kemudian memelukku erat, tubuhnya yang terasa hangat membuatku mulai menangis di dalam dekapannya yang terasa menenangkan.
“Kenapa lama banget baru sadar sekarang?” ungkapnya.
Aku tak menyangka ternyata ia juga menungguku menyadari kehadirnya, kenapa butuh 2 tahun untukku bisa menyadari bahwa ia adalah anak laki-laki yang telah lama ku rindukan.
“Kenapa lo gak bilang kalo lo itu Ian, kenapa selama ini lo diem aja?” tanyaku penasaran.
Yian melepas peluknya, membuatku mundur selangkah dan menatap wajahnya menanti jawaban jelas darinya.