Dear, diary

Liepiscesha
Chapter #49

Chapter 48

Kelas di mulai dengan presentasi dari kelompokku. Kami maju dengan penuh ketegangan, belum memulai aku sudah merasa ngeri dengan tatapan intimidasi dari seisi kelas. Tatapan dari anggota kelompokku seolah mengatakan “Kesalahan sekecil apapun, lo mati” itulah yang aku dengar dari tatapan meraka. Mataku dan Yian saling bertemu, dari tatapannya aku bisa merasakan sedikit kekuatan. Ia pasti mengatakan, “Semangat, lo bisa” ucap tatapan Yian.

Aku menghela napas gusar, Irene, Yian dan Raka melakukan tugasnya untuk mengoperasikan laptop dan led proyektor. Sahwa, beserta Leo membagikan selembaran materi kemudian Julian yang membantuku membawakan hasil presentasi.

Aku mulai mengucapkan isi materi pertama setelah sambutan yang Julian telah ucapkan, tekanannya sangat luar biasa, meski begitu aku berhasil melewati masa krisis. Untuk pertama kalinya aku bisa berbicara dengan lancar menggunakan Bahasa Inggris, walaupun anak-anak lain tak mempercayai apa yang baru saja aku lakukan mereka tetap saja memberikan tepuk tangan untuk mengapresiasi hasil kerja kelompok kami.

“Good job” puji Yian sembari berbisik. Aku menahan senyum mendengar pujiannya.

Kelas berakhir, begitu bel istirahat berbunyi aku segera berlari menuju taman belakang menghampiri seorang penyelamat nasib ku. Dengan napas terengah aku menghadapi Arlen dengan senyum lebar, Arlen sudah siap dengan sekaleng minuman di tangannya. Aku meneguk minuman darinya memuaskan rasa haus yan telah ku tahan sejak 3 jam lalu.

“Lo mau makan apa? Biar gue traktir apapun yang lo mau, eh gak deng gak bisa apapun, gue cuma punya 50 ribu, itu juga buat jajan sebulan sebenernya” ungkapku.

Arlen menatap datar, aku memutar otak agar bisa mengembalikan kegembiraan Arlen.

“Gue usahain! Apapun yang mau lo makan, asal gak sampe ratusan ribu?” ucapku dengan hati-hati sembari memeriksa raut wajahnya.

Kembali ke 3 jam lalu sebelum kelas pertama di mulai, Arlen mengajukan ide untuk membantuku melakukan presentasi. Pertama -tama ia memintaku untuk menunjukkan apa yang telah aku pahami dan pelajari untuk melakukan presentasi, setelah melihat apa yang telah aku pelajari ia segera memberikan sebelah pasang earbuds yang ukurannya sangat kecil, aku menatp benda tersebut bingung. Melihat sikap lambatku Arlen dengan inisiatifnya memasangkan sebelah earbuds tersebut pada sebelah telingaku.

Di lanjutkan dengan memeriksa penampilanku, ia kemudian menyentuh rambutku pelan, mengaturnya agar menutupi telinga kiriku yang terpasang earbuds.

Aku menahan geli dan menghindari matanya. Tanpa maksud yang pasti ia mengelus kepalaku pelan, namun sentuhannya terasa canggung dan sedikit aneh. Selama 17 tahun hidupnya aku yakin ia pasti hanya bergaul dengan teman laki-lakinya.

Selama presentasi Arlen membantuku mengingat materi presentasi dan mengucapkan kalimat yang aku lupa, sesekali ia juga emosi karena pengejaanku yang buruk namun dengan sabar ia membantuku menyelesaikan presentasi.

Kembali ke saat saat ini,

“Udahlah bawel banget lu, soal itu biar gua yang putusin mau apa, lu tinggal nurutin apa mau gua aja” ujarnya.

“Bukannya lo maunya di traktir makan?” tanyaku.

“Lu pikir gua gua apa selalu minta di traktir makan, gua bisa beli makanan gua sendiri” ujarnya sebal.

“Oh gitu, yaudah pokoknya lo bilang aja mau apa, tanpa lo gue gak akan bisa ngelakuin presentasi tadi” ucapku.

Lihat selengkapnya