Tanpa sepengetahuanku wali kelas telah menghubungi Ibu dan memintanya untuk datang ke sekolah, masalah yang bahkan bukan salahku kemarin kenapa sampai harus mendatangkan Ibu ke sekolah. Bahkan meski aku tak bersalah aku tetap merasa cemas dan takut, Ibu mungkin saja akan malu dan kecewa terhadap perbuatanku.
Aku segera berlari begitu mengetahui Ibu berada di ruang kepala sekolah bersama dengan orangtua Ina, di sana Ina duduk dengan wajah pucatnya, kedua orangtua Ina menatapku tajam dengan raut wajah kesal mereka. Aku melangkah memasuki ruang kepala sekolah, ibu nampak begitu hening di kelilingi oleh kepala sekolah serta para guru.
“Mika kenapa kamu dorong Ina ke kolam renang? Kamu tahu itu sangat berbahaya, kalau telat semenit saja mungkin akan lain ceritanya” tegur wali kelasku.
“Gimana bisa anak 17 tahun punya pikiran sejahat itu sampe berani bikin celaka anak lain? Kalau anak saya kenapa-napa memangnya kamu bisa tanggung jawab!” ujar Wanita yang merupakan Ibu kandung Ina.
Aku menatap kea rah Ina, ia nampak menghindari tatapanku aku bisa melihat bahwa ia gemetar ketakutan di hadapanku. Ia bungkam dan tak mengatakan sepatah katapun untuk menjelaskan keadaan sebenernya.
“Saya gak dorong Ina, Ina jatuh sendiri ke kolam” jelasku.
“Kamu! Masih berani bohong, semua orang bilang kamu yang dorong anak saya?!” bentak Ayah Ina.
Aku menatap Ibu yang tertunduk cemas, melihat Ibu seperti itu kembali membuatku khawatir kondisinya akan memburuk, Ibu baru saja pulih aku tak ingin Ibu jatuh sakit dan stress karena masalah yang tengah kami hadapi saat ini.
“Ada cctv kan bu, kenapa kita gak periksa cctv dulu biar semuanya jelas, saya gak dorong Ina” ujarku.
Petugas keamanan sekolah menggaruk lehernya dan tampak gelisah, harapanku satu-satunya adalah tayangan cctv di kolam renang yang bisa membuktikan bahwa aku tak bersalah.
“cctvnya udah lama mati, saya udah laporan ke pihak sekolah tapi belum di kasih tanggapan sampe sekarang” ungkapnya.
Aku menghela napas panjang, suasana menjadi kalut dan tak terkendali, kedua orangtua Ina berteriak dan terus meminta pertanggung jawaban sekolah dan keluargaku. Yang aku cemaskan adalah keadaan Ibu, mendengar kata pembunuhan pasti membuat hatinya kembali sakit. Ibu masih syok dan begitu hening membuatku hampir gila karena merasa kesal dengan semua orang di ruangan ini.
Dalam keadaan seperti ini Sophia dan keempat anak yang kemarin bersama kami di kolam renang masuk sebagai saksi, ia menjelaskan pada semuanya sama seperti apa yang Irene katakan padanya di UKS kemarin.
“Memang bener Mika yang dorong Ina” jelas lainnya.
“Kalian sendiri yang berusaha buat dorong gue, kenapa kalian jadi ngomong yang sebaliknya?” ucapku tak mengerti.
“Jadi sekarang kamu malah nyalahin anak saya?”
“L-lo kan tiba-tiba kunci pintu biar kita gak bisa keluar, terus lo juga yang ngambil kuncinya,”
“Bener itu?” tanya wali kelas.
“I-itu, saya memang ngambil kuncinya tapi saya gak dorong Ina” jelasku.
“Kalo kamu masih gak mau ngaku, kita bawa masalah ini ke jalur hukum!” ancam Ibu Ina.
“Ibu Naomi, jadi bagaimana? Tolong Ibu jangan diam saja dong bu” cecar wali kelas.
“S-saya…” ucap Ibu gugup.